Kamis, 11 September 2008

Yeats

Mitologi adalah satu sumber ilham terbesar puisi, dan puisi modern bukanlah perkecualian. Memang, tak sedikit penyair modern yang menganggap masa silam sebagai semacam kungkung dan karena itu berusaha lepas darinya. Tetapi tak kurang pula jumlah mereka yang mencoba menggali peninggalan lama dan menampilkannya kembali dalam wujud baru. William Butler Yeats (1865-1939) adalah salah satu tokoh utamanya. Mitologi Keltik Irlandia, Yunani, maupun ”mitologi universal” (yang sesungguhnya sangat personal) yang ia coba gali dari palung bawah-sadar, ia serap dan olah kembali dengan beragam jalan dalam sajak-sajaknya.


Di awal karier literernya, Yeats adalah seorang penyair ”romantik akhir” yang menggubah sajak-sajak merdu yang terpesona oleh alam negeri kelahiran, keajaiban dan manis-getirnya cinta, pelbagai legenda dari moyangnya sendiri maupun dari anak benua jauh, serta dunia para mambang dan peri. Setidaknya sejak terbitnya kumpulan lirik Crossways dan puisi naratif dramatik The Wanderings of Oisin pada tahun 1889 hingga In the Seven Woods (1904), watak romantik itu cukup menonjol. Tetapi sesuatu kemudian terjadi.

Pada tahun 1908, datang seorang pemuda Amerika berumur 23 bernama Ezra Pound, yang mengatakan berniat ”belajar menulis puisi” dari Yeats—”satu-satunya penyair yang layak dipelajari sungguh-sungguh”, dalam kata-kata Pound kala itu. Anak muda itu kemudian bekerja sebagai sekretaris pribadi si penyair Irlandia. Mereka pun banyak bertukar pikiran, dan entah siapa di antara mereka yang kemudian lebih banyak ”belajar menulis puisi”. Yang jelas, sajak-sajak Yeats yang terbit di masa itu, yakni The Green Helmet and Other Poems (1910) dan Responsibilities (1914), menunjukkan perubahan ke arah puisi yang kian padat, menatap lekat dunia sehari-hari, serta lebih bebas memainkan rima ataupun irama—sebagaimana dikedepankan oleh Pound bersama kaum imajis di London lewat sejumlah manifesto mereka.

Kelak, ketika ia kembali mengolah tema-tema mitologis melalui tokoh-tokoh dalam folklor Irlandia maupun dari khazanah lain, sensibilitas modern itu sudah meresap ke dalam watak puisinya. Hasilnya adalah larik-larik yang ketat dan bernas sebagai aforisme, dan tentu saja di kemudian hari kerap dikutip orang. Things fall apart; the centre cannot hold;/ Mere anarchy is loosed upon the world. Atau O body swayed to music, O brightening glance,/ How can we know the dancer from the dance? Begitu juga bait yang akhirnya menjadi epitaf di makamnya di Sligo County, Irlandia: Cast a cold eye/ On life, on death./ Horseman, pass by! Dalam sebuah sajaknya, ia pernah mengatakan ingin menulis puisi yang ”dingin dan penuh gelora, seperti fajar”.

Sajak ”Leda and the Swan”—yang termuat dalam kumpulan The Tower (1928), dan barangkali sajak Yeats yang paling sering masuk dalam antologi puisi modern—memperlihatkan bagaimana sebuah sajak bisa menjadi ”dingin dan penuh gelora” sekaligus. Berkisah tentang Leda, istri Raja Tyndareus dari Sparta, yang suatu hari diperkosa oleh seekor angsa (jelmaan Dewa Zeus yang jatuh cinta pada manusia jelita itu), sajak berbentuk soneta itu menggambarkan adegan aneh dan mengerikan itu dengan tatapan yang seakan tak berkedip sedetik pun. Bagaimana ”sayap besar” angsa mengepak di atas ”gadis yang gemetar”, lalu ”kelebat putih” dan ”geletar pada panggul” yang kelak ternyata mengakibatkan perang besar, ”dinding rengkah, atap terbakar”. Sebab terjadilah di sana pembuahan, dan salah satu anak yang lahir kemudian dikenal dengan nama Helena dari Troya. Sajak ini tentu mudah menimbulkan kontroversi. Tetapi memerikan sebuah dongeng tua tentang pemerkosaan yang ganjil dengan jenih dan hidup tidaklah bisa disamakan dengan membenarkan hal itu. Barangkali Yeats justru hendak menekankan betapa sesuatu yang bermula dari kekerasan hanya akan berujung pada kekerasan lain, peperangan, dan kehancuran.

Dalam pidato penerimaan Hadiah Nobel Sastra yang diberikan kepadanya pada tahun 1923, Yeats menyebut dengan anggukan takzim bagaimana sejumlah penulis di negerinya (di tengah kecamuk perang yang berlarat-larat) bertahun-tahun bergulat melepaskan diri dari ”provinsialisme”. Bersama mereka ia membebaskan diri dari wawasan yang sempit dan merengkuh pelbagai khazanah yang lebih luas, demi melihat kemungkinan penciptaan yang jauh melintasi batas-batas.

Sumber: Kompas Minggu, 19 Februari 2006

Tidak ada komentar: