Jumat, 12 September 2008

Mirabai

IA terlahir sebagai putri tunggal sebuah keluarga bangsawan Rajput di wilayah Rajasthan, India Utara, di sekitar peralihan abad ke-15 dan 16. Di masa kanak ia pernah mendapat hadiah dari seorang guru kelana sebuah patung kecil Sri Krishna, yang sejak itu konon tak pernah lepas dari sisinya. Di kemudian hari ia termasyhur sebagai penyair pengembara yang merayakan ekstase dan pemujaan kepada Sang Kekasih yang tak tepermanai cintanya.

Riwayat Mirabai adalah kisah seorang manusia yang terseret adat dan sejarah, tetapi kemudian menghanyutkan (dan melepaskan) diri ke arus yang lebih murni dan tersembunyi: perayaan cinta spiritual. Mahatma Gandhi pernah menyebut Mirabai sebagai simbol seorang perempuan yang memilih jalannya sendiri, meninggalkan hidup mewah, dan dengan cara damai menemukan pembebasan.

Syahdan, ketika beranjak dewasa, ia dinikahkan dengan Pangeran Bhoja Raj, anak penguasa kerajaan Mewar yang berpusat di Chittor. Mirabai hidup di istana yang tak membahagiakannya. Di sana ia mesti menyembah Durga, dewi pujaan keluarga sang mertua. Ia menolak, dan melanjutkan pemujaan kepada Sri Krishna titisan Vishnu, menari dan menyanyikan persembahannya bersama para bhakta, pemuja yang berasal dari pelbagai kasta. Tiga tahun setelah pernikahan, suaminya meninggalkan dunia tanpa meninggalkan seorang anak. Mirabai, yang dalam sebuah mimpinya pernah mendapati dirinya berada di pelaminan bersama Sri Krishna, menolak melakukan sati (melompat membakar diri ke dalam kobaran api kremasi suaminya). Ia hendak mengabdikan seluruh hidupnya kepada Sri Krishna.

Tetapi di masa itu pula tengah terjadi guncangan hebat di negeri Rajasthan. Pasukan Mughal menyerbu dari Afghanistan. Berkecamuklah perang. Mirabai kehilangan ayah dan mertuanya—mereka gugur di medan pertempuran. Takhta Mewar kosong. Dengan segera seorang penguasa baru ditabalkan: seorang bocah yang duduk di singgasana di bawah bayang-bayang ibunya. Mirabai semakin tak kerasan tinggal di istana, dan kian sering memberontak dan melanggar aturan istana. Ada cerita bahwa beberapa kali kalangan tinggi kerajaan berusaha membunuhnya, antara lain dengan mencampurkan racun ke dalam minumannya. Ia meneguk minuman beracun itu, dan ternyata tak mati. Akhirnya ia pun pergi mengembara hingga penghujung hayatnya.

Puisi Mirabai, yang aslinya digubah dan dinyanyikan dalam bahasa Gujarati, sepenuhnya merayakan luapan rasa cinta, pemujaan dan pengabdian (bhakti) kepada Sri Krishna, yang kerap ia panggil "Giridhara" (sang pemegang/pengangkat gunung) dengan wajah "berwarna senja". Berbeda dengan tradisi puisi Sanskerta klasik yang rumit dan sarat aturan persajakan, tradisi puisi bhakti—yang berada di "zaman pertengahan" dalam khazanah sastra India—lazim ditulis dalam ungkapan-ungkapan yang tampak sederhana dan biasa. Sebab ia hadir dan menjadi nyanyi puja orang kebanyakan juga.

Namun, sebagaimana misalnya puisi mistis kaum Sufi, sajak-sajak Mirabai kerap menyimpan kelembutan maupun gejolak ekspresi yang mengejutkan di antara larik-larik yang menjalinkan citraan erotis dengan saranan murni rohani. Demikianlah, sejumlah penyair modern, seperti Robert Bly dan Adrienne Rich, pun terpesona dan tergerak menerjemahkan lirik Mirabai ke dalam bahasa Inggris. Tak heran, sebab mereka telah bertemu dengan larik-larik seperti ini: Hari ini, biarkan mendung meremah/ Tuannya Mira kembali di rumah/ Bahkan kabut terlembut merasuki tong-tong kering/ Perjalanan panjang, dan kini pertemuanku dengan cinta/ Takut sirna, raib sirna, tuarang sirna/ Ia telah kembali/ …/ Kawanan ternak pun datang minum dari air bah ini.

Sumber: Minggu, 27 Agustus 2006

Tidak ada komentar: