Senin, 15 September 2008

Derau

TENANG dan bersahaja (dan sedikit gila barangkali) tampaknya: seseorang duduk atau berdiri atau rebahan sambil lekat menatapi deretan dan barisan huruf yang tercetak pada permukaan kertas-kertas yang terjilid, membaliknya lembar demi lembar, mungkin sesekali manggut-manggut, atau agak terkantuk-kantuk terkena semilir.

KECUALI dilakukan di panggung atau studio atau mimbar, di depan mikrofon atau sekerumun penonton, membaca-sebagaimana halnya menulis-memang sering dibayangkan sebagai kegiatan perseorangan yang soliter dan senyap. Seorang pembaca mungkin tengah menjelajahi sebuah dunia yang meriah atau dahsyat atau muram atau mengerikan dalam teks yang diselaminya, tetapi tindakan membaca itu sendiri biasa terlihat sebagai tindakan menyepikan diri dari ingar-bingar dunia luar. Seakan si pembaca sedang melakukan semacam meditasi, menjernihkan diri, menghalau pelbagai distraksi. Tetapi itulah sebentuk tipuan mata.

Sebab, tak bisa tidak, pertemuan pembaca dengan teks berlangsung dalam (dan sebagai) sebuah lalu lintas yang sudah sibuk sejak mula. Tanda-tanda, kata-kata dan sebagainya, yang tertera dan tersusun sebagai sebuah komposisi itu, adalah hal-ihwal yang bagaimanapun memiliki umur, dan dengan itu riwayat, yang bahkan hampir selalu lebih tua ketimbang penulis maupun pembacanya. Komposisi itu sendiri niscaya punya riwayat: sejak masih berupa niat hingga menjelma rangkaian tersurat, yang kemudian mungkin beredar dari orang ke orang dari waktu ke waktu. Si pembaca juga tentu sudah melintasi sekian pengalaman, membawa sekian memori dalam otak dan sekujur tubuhnya. Lagi pula, selain mengangkut segala bawaan dari masa lalu, masing-masing peserta itu pun lalu terkait bersama ke sejumlah aturan (dan) permainan yang (kalaupun sering dilanggar) memungkinkan tergelarnya sebuah dunia dari sana.

Dengan begitu setiap pembacaan teks adalah sebuah peristiwa yang ramai juga, sebetulnya. Ada banyak anasir yang bekerja bersamaan, masing- masing mungkin saling menerpa, dan tak selalu pas atau selaras, menjadi sehimpun kesibukan yang tak kurang seru ketimbang hiruk-pikuk sebuah pasar pagi. Sebuah proses yang “bising”, penuh derau.


Jika sebuah teks kita ikuti sejak kelahirannya hingga mencapai tangan pembaca, ia memang bisa terlihat sebagai sebentuk informasi yang senantiasa beriring dengan derau: setiap distorsi, sendatan, simpangan, silapan, yang “mengganggu” perjalanan pesan-jika pesan di sini tidak kita baca sebagai “moral”. Sebutlah: pilihan kata yang tak tepat, tata bahasa yang gawal, tanda baca yang meleset, kantuk penulis, salah ketik, salah cetak, tinta yang tak rata atau agak belobor, peralihan format file yang merusak sejumlah tanda baca, pening pembaca, jarak ruang dan waktu antara penulisan dan pembacaan, dan seterusnya. Belum lagi derau yang datang dari dunia luar, sebagai rupa maupun suara-suara: siaran televisi, kendaraan lewat, kicau burung, batuk, palu menghantami paku, daun-daun luruh…. Mungkin juga ada endapan ingatan yang terusik kembali, bayangan-bayangan yang timbul-tenggelam, rasa nyeri di pinggang atau di ulu hati.


Dalam karya sastra, apalagi puisi, derau itu hadir secara lebih rumit, halus, canggih, tersamar, tak terduga. Sebab, bahasa di situ tak melulu bekerja sebagai instrumen penyampai maksud, melainkan bisa juga bermain atau bergerak mengikuti impuls-impuls yang tak selalu terjelaskan. Kadang sebuah citraan begitu kuat dan memukau, hingga tak penting lagi apakah itu masuk akal atau tidak: “MALAM LEBARAN/ Bulan di atas kuburan” (Sitor Situmorang). Tak jarang sepatah bunyi ikut membentuk runtunan kata berikutnya, dan meluncurlah asonansi: “Luka dan bisa kubawa berlari/ Berlari/ Hingga hilang pedih peri” (Chairil Anwar); “Seperti kau basuh aku/ Dalam desah asap saunamu” (Goenawan Mohamad). Dan seterusnya. Dalam wanti-wanti Ludwig Wittgenstein, “Jangan lupakan bahwa puisi, meski digubah dalam bahasa informasi, tidaklah berada dalam permainan-bahasa untuk memberi informasi.” Atau tidak selalu.

Maka segenap majas, bunyi, jeda sunyi, yang berkelindan menjadikan puisi sebuah medan ambiguitas yang membuat pembacaan sering tak mudah, meski bisa tetap mengasyikkan. Memang, kecenderungan mula-mula seorang pembaca adalah mencari arti yang dianggap terkandung di dalam kata-kata yang tersusun sebagai komposisi. Tetapi arti barangkali tak ditemukan “di dalam” rentetan tanda bunyi itu, melainkan dalam ruang persentuhan antara teks dan benak pembaca-sebuah persentuhan yang tak hanya melibatkan akal, tetapi juga indra dan barangkali naluri. Di situlah terhampar kancah pemaknaan yang bisa terus meluas, berubah, berkembang, setiap kali.


Namun, kenapa derau itu mesti ada di sana, merintangi jalannya sebuah pesan? Michel Serres, filsuf sains asal Prancis itu, memberi jawaban menarik: permainan ambiguitas dalam fluktuasi derau dan kerangka pandangan subyek pengamat yang tak tetap mampu membangkitkan kapasitas informasi dan derau untuk “mengubah tanda-tanda” sehingga kekacauan bergerak menuju tata yang lebih tinggi. Itulah “kekacauan relatif” puisi, yang senantiasa mencari celah-celah “keajaiban, kebetulan, kekecualian”. Puisi adalah jalan membuka diri ke arah yang tak terduga-termasuk hubungan-hubungan yang tak terduga.

Tentu, jika derau menjadi terlalu besar dan kasar, sebuah puisi bisa juga (ya: cenderung) jatuh semrawut tanpa ampun.


Sumber: Kompas, Jumat 04 April 2003

Read More......

Jumat, 12 September 2008

Mirabai

IA terlahir sebagai putri tunggal sebuah keluarga bangsawan Rajput di wilayah Rajasthan, India Utara, di sekitar peralihan abad ke-15 dan 16. Di masa kanak ia pernah mendapat hadiah dari seorang guru kelana sebuah patung kecil Sri Krishna, yang sejak itu konon tak pernah lepas dari sisinya. Di kemudian hari ia termasyhur sebagai penyair pengembara yang merayakan ekstase dan pemujaan kepada Sang Kekasih yang tak tepermanai cintanya.

Riwayat Mirabai adalah kisah seorang manusia yang terseret adat dan sejarah, tetapi kemudian menghanyutkan (dan melepaskan) diri ke arus yang lebih murni dan tersembunyi: perayaan cinta spiritual. Mahatma Gandhi pernah menyebut Mirabai sebagai simbol seorang perempuan yang memilih jalannya sendiri, meninggalkan hidup mewah, dan dengan cara damai menemukan pembebasan.

Syahdan, ketika beranjak dewasa, ia dinikahkan dengan Pangeran Bhoja Raj, anak penguasa kerajaan Mewar yang berpusat di Chittor. Mirabai hidup di istana yang tak membahagiakannya. Di sana ia mesti menyembah Durga, dewi pujaan keluarga sang mertua. Ia menolak, dan melanjutkan pemujaan kepada Sri Krishna titisan Vishnu, menari dan menyanyikan persembahannya bersama para bhakta, pemuja yang berasal dari pelbagai kasta. Tiga tahun setelah pernikahan, suaminya meninggalkan dunia tanpa meninggalkan seorang anak. Mirabai, yang dalam sebuah mimpinya pernah mendapati dirinya berada di pelaminan bersama Sri Krishna, menolak melakukan sati (melompat membakar diri ke dalam kobaran api kremasi suaminya). Ia hendak mengabdikan seluruh hidupnya kepada Sri Krishna.

Tetapi di masa itu pula tengah terjadi guncangan hebat di negeri Rajasthan. Pasukan Mughal menyerbu dari Afghanistan. Berkecamuklah perang. Mirabai kehilangan ayah dan mertuanya—mereka gugur di medan pertempuran. Takhta Mewar kosong. Dengan segera seorang penguasa baru ditabalkan: seorang bocah yang duduk di singgasana di bawah bayang-bayang ibunya. Mirabai semakin tak kerasan tinggal di istana, dan kian sering memberontak dan melanggar aturan istana. Ada cerita bahwa beberapa kali kalangan tinggi kerajaan berusaha membunuhnya, antara lain dengan mencampurkan racun ke dalam minumannya. Ia meneguk minuman beracun itu, dan ternyata tak mati. Akhirnya ia pun pergi mengembara hingga penghujung hayatnya.

Puisi Mirabai, yang aslinya digubah dan dinyanyikan dalam bahasa Gujarati, sepenuhnya merayakan luapan rasa cinta, pemujaan dan pengabdian (bhakti) kepada Sri Krishna, yang kerap ia panggil "Giridhara" (sang pemegang/pengangkat gunung) dengan wajah "berwarna senja". Berbeda dengan tradisi puisi Sanskerta klasik yang rumit dan sarat aturan persajakan, tradisi puisi bhakti—yang berada di "zaman pertengahan" dalam khazanah sastra India—lazim ditulis dalam ungkapan-ungkapan yang tampak sederhana dan biasa. Sebab ia hadir dan menjadi nyanyi puja orang kebanyakan juga.

Namun, sebagaimana misalnya puisi mistis kaum Sufi, sajak-sajak Mirabai kerap menyimpan kelembutan maupun gejolak ekspresi yang mengejutkan di antara larik-larik yang menjalinkan citraan erotis dengan saranan murni rohani. Demikianlah, sejumlah penyair modern, seperti Robert Bly dan Adrienne Rich, pun terpesona dan tergerak menerjemahkan lirik Mirabai ke dalam bahasa Inggris. Tak heran, sebab mereka telah bertemu dengan larik-larik seperti ini: Hari ini, biarkan mendung meremah/ Tuannya Mira kembali di rumah/ Bahkan kabut terlembut merasuki tong-tong kering/ Perjalanan panjang, dan kini pertemuanku dengan cinta/ Takut sirna, raib sirna, tuarang sirna/ Ia telah kembali/ …/ Kawanan ternak pun datang minum dari air bah ini.

Sumber: Minggu, 27 Agustus 2006
Read More......

Bilhana

Kashmir, sebentang dataran tinggi yang cantik namun rawan di perbatasan India dan Pakistan, memiliki hamparan perpuisian yang panjang dan bertabur bintang. Setidaknya sejak Bhartrimentha di abad ke-5 Masehi menggubah epik Hayagrivavadha (yang telah hilang dan hanya terserak sebagai kutipan-kutipan di sejumlah teks dari masa kemudian), perayaan kisah besar dalam sajak terus berjalan dari zaman ke zaman. Di abad ke-6 Bhatta Bhanmaka menulis Ravanarjuniya yang melukiskan ulang adegan laga dalam kisah Ramayana. Ratnakara, Sivasvamin, Mankha, dan Ksemendra adalah sejumlah nama lain yang telah menyumbangkan larik-larik mereka ke dalam kesusastraan Kashmir berbahasa Sanskerta.

Sedangkan Bilhana, yang hidup di sekitar abad ke-11 di Kashmir, menunjukkan kecenderungan lain dalam khazanah itu. Ia seorang penyair sekaligus sejarawan. Tetapi memang ia bukan satu-satunya. Kalhana, seorang sejarawan penulis hikayat Rajatarangini (Sungai Raja-raja) yang terkemuka, yang kurang-lebih sezaman dengannya, pun menulis syair. (Ada sedikit catatan menarik dari para pengamat luar tentang ini: perihal catatan sejarah, ada perbedaan besar dalam tradisi India dan Kashmir. Detail historis dalam pelbagai hikayat klasik India kerap kabur, peristiwa sejarah berbaur atau sepenuhnya menjadi legenda. Perkisahan sejarah dalam khazanah Kashmir rupanya menunjukkan hal sebaliknya, penuh rincian yang cukup akurat mengenai waktu, tempat, dan nama-nama.)

Syahdan, Bilhana, putra seorang sarjana Sanskerta ternama Jyasthakalasa, pergi meninggalkan kampung halamannya setelah menyerap ajaran Veda, tata bahasa, dan sastra. Ia mengembara dari negeri ke negeri, hingga kemudian tertambat di istana Raja Vikramaditya VI, keturunan wangsa Chalukya yang kekuasaannya berpusat di Kalyana. Di sana ia menulis Vikramankadeva Charitha, sebuah hikayat tentang Raja Vikramanka dan leluhurnya, para pemuka dinasti Chalukya dan keturunannya. Digubah dalam 18 bagian, teks itu ditutup dengan kisah turun-temurun keluarga sang pujangga dan kilasan riwayat raja-raja Kashmir.


Namun, warisan yang lebih menarik dari Bilhana adalah seberkas naskah bertajuk Saurisuratapanchasika (50 Sajak Pencuri Cinta). Kumpulan sajak itu juga dikenal sebagai Chaurapanchasika, Bilhana Panchasika, atau Sasikalapanchasika. Ada sejumlah versi tentang para tokoh dalam teks itu. Salah satu versi menyebut bahwa tokoh lelaki bernama Chaura, seorang brahmana di istana Raja Sundava di Kanchipur, yang mendapat tugas mengajar Vidya (atau Sasikala) sang putri raja. Demi mencegah kemungkinan terjalinnya percintaan antara mereka, raja memberi tahu sang putri bahwa gurunya adalah seorang penderita kusta sedangkan kepada sang guru dikatakan bahwa putrinya buta. Mereka dibatasi oleh sehelai kain. Tipuan itu percuma, dan keduanya lambat laun saling jatuh cinta. Raja memergoki mereka pada suatu hari, dan ia pun menjebloskan sang guru cendekia itu ke penjara. Di sanalah, sambil menanti hukuman mati, ia menggubah dan menyanyikan sajak-sajak cintanya itu. Sebuah versi lain menyatakan bahwa sang protagonis-penyair itu tak lain adalah Bilhana sendiri, dan sang putri bernama Champavati.


Dengan kata/frase pembuka yang selalu seragam—adyaapi (“bahkan/hingga kini")—sajak-sajak itu menggambarkan kerinduan sang penyair yang merasa berada di akhir hidupnya, namun tak sanggup melepaskan kenangan cintanya, seakan yang ia ingat adalah “sebuah kearifan yang hilang". Ia merasa dirinya sarat oleh bayangan “semu emas wajah sang putri, liuk asap gelombang rambutnya, kaki gemetar oleh cinta." Si penyair tahu, esok hari mungkin ia akan naik ke panggung pancungan dan mati, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang terus menolak berhenti.

Sumber: Minggu, 30 Juli 2006

Read More......

Bhartrihari

Puisi lirik dari khazanah sastra Sanskerta seakan tersembunyi. Epik Ramayana gubahan Valmiki dan Mahabharata susunan Vyasa adalah sepasang karya tinggi besar dengan bayang-bayang demikian panjang, sehingga orang bisa lupa bahwa telah mengalun dan merebak juga banyak nyanyian di sekitar bayang-bayang itu. Kalidasa, adikavi (pujangga besar) yang konon hidup berkelana di sekitar peralihan abad ke-4 dan 5 Masehi, pun lebih dikenal dengan lakon-lakonnya, seperti Malavikagnimitra dan Shakuntala, meski ia juga menulis (selain sejumlah sajak epik) dua buah lirik abadi: Meghaduta (Awan Pembawa Pesan) dan Ritusamhara (Lukisan Musim). Kata “epik" dan “lirik" di sini tentu hanya bersifat menghampiri, dan karena itu perlu dibayangkan berada di antara dua tanda petik.


Satu soal lagi: riwayat para pujangga itu sesungguhnya tak selalu jelas—tak hanya menyangkut detail peristiwa yang terjadi, tapi juga kapan persisnya mereka hidup. Baiklah, mungkin biografi penyair memang seperti “biografi burung", sebagaimana kata Joseph Brodsky: tak penting benar. Sebab, yang lebih penting niscayalah nyanyinya, bukan riwayatnya. Tetapi legenda telah mengambil alih, dan sedikit cerita tak akan melukai puisi.
Alkisah, Bhartrihari, penguasa wilayah Ujjain, Madya Pradesh, India, pada abad ke-5 atau 6 Masehi, adalah seorang raja yang patah hati. Sang permaisuri yang ia cintai ia pergoki menaruh hati pada seorang lelaki lain. Celakanya, lelaki yang dicintai sang permaisuri ternyata telah jatuh cinta pada seorang pelacur jelita. Dalam legenda ini, cinta dikiaskan sebagai sebutir buah segar. Dan, seakan sebuah lingkaran sempurna, si pelacur jelita itu justru mempersembahkan “buah segar" itu kepada sang raja.


Bhartrihari lalu memutuskan pergi dari istana dan bertapa di hutan. Di sana ia melahirkan Shatakatrayam (Tiga Ratus/"Abad" Sajak), sebuah trilogi yang terdiri atas Nitishataka (Seratus Sajak Kearifan Duniawi), Sringarashataka (Seratus Sajak Asmara), dan Vairagyashataka (Seratus Sajak Pelepasan Raga). Dalam ungkapan pendek yang bernas, tajam, kadang sarat ironi, Bhartrihari memerikan tiga sisi hidup yang pernah dilaluinya: sebagai raja, kekasih, pertapa. Kelak, sajak-sajak lirik (muktaka) Bhartrihari itu dikenang sebagai salah satu capaian tertinggi lirik dalam bahasa Sanskerta.


Tengoklah, misalnya, bait ini: Intan di mata pahat sang jauhari/ Satria terluka pada lengannya/ Gajah terhuyung oleh birahi/ Tebing kali kering oleh tuarang/ Bulan sabit selewat purnama/ Gadis lungkrah oleh permainan cinta/ Dan saudagar yang menderma seluruh hartanya/ Semua meruapkan pesona dalam silamnya. Sebuah paduan citraan keras dan lembut, alam dan manusia, yang dijajarkan sebagai paralel yang sekaligus mengandung kontras antara kedahsyatan dan kefanaan hidup. Digubah belasan abad lampau, bait itu menyimpan kewajaran sekaligus keganjilan: lompatan dan kepadatan imaji yang nyaris modern.


Dan Bhartrihari tak hanya menulis sajak. Vakyapadiya, sebuah traktat filsafat bahasa yang ia tulis, adalah sebuah rujukan yang termasyhur dalam tradisi filsafat India. Bhartrihari mengemukakan konsep “Sabda-Brahman", yang ia tegaskan pada kalimat pembuka risalahnya itu: “Kenyataan tertinggi (Brahman) pada hakikatnya berwatak sabda. Tanpa awal dan tanpa akhir. Demikianlah ia merupakan prinsip tertinggi. Prinsip tetap dan kekal ini mewujudkan diri sebagai aneka macam benda dan proses di alam semesta (jagata prakriya)." Dan, dengan suara yang seakan datang dari pikiran zaman kini, ia membubuhkan komentar atas aforisme itu: “Seluruh gejala di dunia, meski tampak berbeda satu sama lain, memiliki watak dasar sebagai kata. Sebab prinsip kata (sabda) bekerja di baliknya. Kita mengenal dunia melalui kata, dan seluruh pikiran kita terjalan dalam kata-kata. Segala hal-ihwal sejak awal, ada, hingga akhirnya hanya dapat ditentukan melalui kata-kata."

Sumber: Kompas, Minggu 16 Juli 2006


Read More......

Mandelstam

PENYAIR mati meninggalkan puisi. Tetapi akhir hayat Osip Mandelstam adalah juga semacam puisi, yang niscaya tak pernah diduga atau diangankan oleh si penyair sendiri: muram, berat, berlarat-larat. Ia mengawali kepenyairannya dengan sajak-sajak pendek yang merdu dan berwarna-warni, rangkaian imaji dari seorang pemuda yang terpesona oleh kisah-kisah dan perjalanan jauh: Romawi, Byzantium, Mesir, Yunani…. Ia mati di usia 47, setelah sakit-sakitan dan setengah gila, dalam pembuangan di kamp Gulag Siberia, dan dimakamkan di sebuah kuburan massal. Sajak-sajaknya tak ikut mati, dan meneruskan perjalanan jauh ke pelbagai penjuru dunia.

Lahir di tengah sebuah keluarga Yahudi diaspora di Warsawa, Polandia, pada tahun 1891, Osip Emilievich Mandelstam tumbuh mula-mula di Pavlovsk dan kemudian St Petersburg, Rusia. Pada usia 16 ia merantau ke Paris dan belajar sastra di Universitas Sorbonne. Setahun kemudian ia pindah ke Jerman dan mengikuti kuliah filsafat di Universitas Heidelberg. Ini pun hanya bertahan setahun, hingga 1910. Ia lalu kembali ke Rusia, dan selama 6 tahun berikutnya menekuni sejarah dan filologi di Universitas St Petersburg. Ia tak pernah mendapat gelar atau ijazah.

Di Paris, Mandelstam berkenalan dengan karya-karya kaum simbolis dan mulai menulis sajaknya sendiri, yang ia siarkan di sebuah jurnal bernama Apollon. Sekembalinya di St Petersburg ia bergabung dengan Nikolai Gumiliev dan Anna Akhmatova dalam "Gilda Penyair". Mereka, lewat gerakan akmeisme (akme, diambil dari bahasa Yunani, berarti "puncak"), menyuarakan pentingnya bahasa yang jernih dan sederhana dalam puisi. Puisi bukanlah pameran sengkarut imaji atau sulapan bunyi, melainkan rangkaian sari bening kata yang disuling dari dunia sehari-hari—demikian kira-kira seruan mereka.


Baru pada tahun 1913 terbit kumpulan sajaknya yang pertama, Batu. Dalam kumpulan itu tampaklah Mandelstam sebagai seorang penyair yang baru bergerak dari rasa terpesona akan gelora simbolisme menuju puncak ketenangan akmeisme. Ada kerapian dan kejernihan di sana, tetapi larik-lariknya yang merdu kerap sarat mengandung bayangan makna yang berkelebatan. Puisinya sering penuh alusi dari pelbagai zaman dan negeri. Homeros, Safo, Ovid, Virgil, Dante, Villon, hingga Pushkin dan Lermontov—mereka hadir dalam selubung, dalam topeng bernama Mandelstam. Di kemudian hari ia merumuskan akmeisme sebagai "sebuah nostalgia akan belantara budaya dunia".


Kumpulan sajaknya yang kedua, Tristia (1922), lebih jelas menunjukkan kecenderungan eklektik Mandelstam yang berpadu dengan semangat melakukan percobaan. Dalam metrum heksameter yang lazim dalam puisi Rusia, ia mencoba memasukkan pola-pola rima yang tak lazim. Di kali lain ia mencoba menggunakan sajak bebas, sambil terus menguji berapa banyak imaji dapat dipadatkan dalam larik-larik puisi. Di antara karya-karya kaum akmeis, agaknya memang puisi Mandelstam yang memiliki tekstur paling kompleks: sensibilitas klasik yang bertemu dengan gejolak eksperimental, di tengah latar yang tak menentu.


Memang ada unsur tak menentu di latar penciptaan itu. Dan dalam riwayat Mandelstam, ketakmenentuan itu datang dari politik represif yang menguasai negerinya di masa itu. Nikolai Gumiliev mati di depan regu tembak pada tahun 1921. Antara tahun 1926 hingga 1930 Mandelstam berdiam diri, sama sekali tak menulis puisi. Oleh sejumlah klik penulis radikal ia dituduh sebagai "orang pelarian di dalam negeri". Persekusi terus berlanjut hingga ia bersama istrinya, Nadezhda Yakovlevna, mesti mengungsi selama 8 bulan di Armenia.
Sepulang dari Armenia, Mandelstam mulai menggubah puisi lagi. Kini ia menulis dalam larik-larik ringkas, lugas, bernas, seperti epigram. Sebuah sajaknya, bertitimangsa November 1933 dan belakangan dikenal sebagai "Epigram Stalin", yang ia bacakan di hadapan sejumlah temannya (dan satu orang penyadap, ternyata), membuat ia ditangkap pada tanggal 13 Mei 1934—yang pertama di antara serangkaian penangkapan dan penyiksaan yang mengharu biru hidupnya hingga akhir. Dengan citraan yang nyaris sureal, sajak itu menggambarkan "orang gunung di Kremlin" dengan "sepasang kecoa ketawa di atas bibirnya" dan "jemari sepuluh ulat gemuk", dikitari oleh "tuan-tuan berleher ayam". Ia menyimpan perintah bagai mengulum buah beri di lidahnya. Di tengah kegilaan demikian, tulis Mandelstam, Hidup kita tak terasa lagi memijak bumi.

Sumber: Kompas Minggu, 02 Juli 2006
Read More......

Leopardi

TUBUHNYA yang ringkih dan sakit-sakitan sejak kecil membuat ia jauh dari pergaulan orang ramai. Wajah yang buruk (atau tak sebagus yang tampak dalam sejumlah lukisan potretnya) dan rasa percaya diri yang tipis rupanya membuat riwayat hatinya sering ditoreh kegundahan. Ia pun lebih banyak menenggelamkan diri ke dalam lautan buku di perpustakaan milik ayahnya—seorang bangsawan cendekia di kota kecil Recanati, Italia, yang tak cakap mengelola kekayaan keluarga dan telah menyerahkan semua urusan pencaharian kepada sang istri. Konon akibat terlalu banyak membaca jadilah perawakannya agak bungkuk, meski alam pikirannya seluas langit malam. Pada usia 22 ia telah menguasai tujuh bahasa, menerjemahkan sejumlah naskah klasik, dan menulis sebuah traktat astronomi dalam bahasa Yunani kuno. Ia melajang sepanjang hayat.


Giacomo Leopardi (1798- 1837), penyair yang acap disebut sebagai lirikus terbesar dalam kesusastraan Italia (atau “penyair kedua setelah Dante") itu, adalah sebuah suara khidmat yang muram namun megah dari zaman romantik. Di tengah khazanah sastra Italia yang sering riuh oleh pekik juang dan rintih dari jalanan masa itu, puisi Leopardi yang menapis gejolak jiwa menjadi irama kata dan makna merupakan sebuah warisan ganjil yang berjejak panjang. Puisi modernis Italia—dengan tokoh seperti Gabriele d’Annunzio, Eugenio Montale, Cesare Pavese, dan Giuseppe Ungaretti—bisa dikatakan sebagai “turunan langsung" dari lirik kontemplatif Leopardi yang bertemu dengan sensibilitas urban modern yang penuh kerlap, kejutan, dan keterpecahan.

Sajak-sajak Leopardi, yang terkumpul dalam Canti, hampir secara konstan membersitkan suasana rawan perhadapan manusia dengan misteri diri dan dunia yang tak tepermanai. Segala rasa perih dan pahit (begitu pun segenap kenangan maupun khayalan indah) yang terus silam dan fana dalam waktu, serta mengerdil atau bahkan menjadi nihil dalam kemahaluasan semesta, membangkitkan kesadaran akan setiap momen hidup sebagai sesuatu yang tak ternilai tetapi mungkin juga sekaligus hampa dan sia-sia—itulah noia. Sebab, seperti ia tulis di larik penghabisan sajak “Nyanyian Terakhir Safo": segala cita, harapan, dan penghiburan akhirnya akan harus diserahkan “kepada sang ratu bayang-bayang, kepada malam hitam, dan pantai diam".

Citraan dalam sajak Leopardi sebenarnya sering tak terasa ajaib. Ia kerap menerakan antara lain kata bulan, mata, malam, mimpi, maut—deretan imaji yang nyaris sudah menjenuh dalam pelbagai khazanah puisi. Namun, yang cukup khas pada Leopardi adalah kebiasaannya menyeling hal-hal konkret dengan yang abstrak secara tiba-tiba. Sepotong citraan seakan berkelindan dengan sebuah gagasan (misalnya perihal ingatan dan ketakterhinggaan), dan dengan demikian sekaligus menimbulkan gerak putus-putus yang berirama. Selain itu, persajakan Leopardi tampak mencoba melepaskan diri dari bentuk yang ketat dan mulai merintis jalan ke arah sajak bebas. Hal-hal tersebut tentu kemudian tampak menonjol dalam karya-karya kaum modernis di Eropa dan Amerika, dan nama Leopardi memang agak dilupakan.

Namun, barangkali ia telah mafhum belaka. Menggubah kidung muram di bawah lampu dan bayang-bayang/ Kucurahkan desah ke arah sunyi dan malam/ Sebab jiwaku lepas sendiri dan melantunkan/ Buat diriku sebait lagu kematian (“Kenangan").

Sumber: Kompas, Minggu 07 Mei 2006

Read More......

Beat

MEREKA merayakan spontanitas, kebebasan, bahkan keliaran ekspresi dalam karya. Mereka menolak apa yang mereka anggap disiplin kaku sastra sekolahan, moral borjuis yang lembam, kapitalisme yang memeras kaum pekerja seraya menyihir kaum konsumen, serta arah politik yang bergerak menuju perseteruan dan kehancuran dunia. Dan itu semua bagi mereka bukan sekadar teori. Dalam bauran antara putus asa dan asyik masyuk, humor dan sinisme, mereka menjalankan perlawanan itu dengan sebentuk budaya tandingan dalam hidup sehari-hari: merekalah kaum bohemian yang menampik aturan umum, berlaku gila-gilaan, bergaya urakan bahkan gembel, dan bereksperimen dengan obat-obatan pengubah kesadaran.

Pada awal 1950-an mereka mulai berkeliaran, terutama di pesisir California, di mana langit masih cerah dan bayang-bayang tradisi tak terasa berat menggelantung. Di Inggris kala itu muncul istilah angry young men: anak muda yang berontak melawan segala bentuk kemapanan. Sementara di pantai barat Amerika itu, dengan semangat yang tak banyak beda namun dengan ungkapan yang lebih berwarna-warni, tengah bangkit sebuah generasi dengan sensibilitas baru: kaum Beat. Nama ini (konon diperkenalkan oleh seorang bernama Herbert Huncke dan diperluas penggunaannya oleh Jack Kerouac) merupakan paduan konotasi kata beat-up (aus, usang, bobrok)—termasuk segenap asosiasinya dengan "timpas", "kalah", "terbuang"—dan upbeat (ceria, bersemangat) serta beatitude (sukacita, kebahagiaan) yang memiliki bobot alusi religius.

Allen Ginsberg, Gary Snyder, Jack Kerouac, William Burroughs, dan Lawrence Ferlinghetti adalah sejumlah sastrawan pemuka generasi Beat yang merupakan "nenek moyang" Generasi Bunga atau kaum hippie sedasawarsa kemudian. Di tangan mereka, sastra bukan hanya permenungan yang tersurat di kertas, melainkan juga pertunjukan trance maupun protes di podium, atau laku asketik maupun pembangkangan di jalanan. Dan sebenarnya agak sulit meringkaskan mereka sebagai kelompok yang memiliki suatu kecenderungan bersama. Masing-masing bergerak dengan gaya dan tema yang berlainan, serta mengundang reaksi berbeda dari kalangan di luar mereka.

Lewat novel On the Road (1957), Jack Kerouac memperkenalkan "prosa spontan" yang cergas merekam pelbagai pengalaman ekstatik dan berbahaya sepanjang perjalanannya melintasi Amerika. Sementara Naked Lunch (1959) William Burroughs mengaduk gambaran kenyataan dengan metode cut-up (memotong, mengacak, dan menempel kalimat atau paragraf secara tidak linier) dalam menjelajahi pelbagai bentuk kecanduan—heroin, kekuasaan, seks, kekerasan. Mereka mencari pengalaman yang otentik dengan cara-cara "baru" dan menjumpai sisi-sisi dunia yang ekstrem dalam kegemilangan maupun kekelamannya.

Allen Ginsberg dan Gary Snyder, dua penyair utama generasi Beat di samping Lawrence Ferlinghetti, memperlihatkan kecenderungan puitik yang nyaris berlawanan. Snyder, seorang pencinta alam yang mendalami Buddhisme Zen dan menyelami sajak-sajak Tiongkok dan Jepang klasik, banyak menggubah lirik yang jernih dan menawarkan jarak dari riuh rendah peradaban Barat. Lay down these words/ before your mind like rocks—demikian ia mengawali kumpulan sajaknya yang pertama, Riprap (1959). Sedangkan Allen Ginsberg, keturunan Yahudi yang menjadi pemeluk Buddhisme Tibet, adalah seorang pasifis yang menggabungkan peran seorang nabi dan penulis pamflet dalam kepenyairannya. Ia melihat kiamat bikinan manusia menunggu, dan ia mengajak orang kembali kepada spiritualitas yang damai, dan kepada puisi.
Larik pembuka sajak "Howl" (1956) karya Ginsberg—yang sempat diperkarakan di pengadilan karena dituduh cabul, meski akhirnya bebas—adalah suara meradang yang dengan nyaring meneriakkan kerisauan zaman itu: I saw the best minds of my generation destroyed by madness, starving hysterical naked….

Sumber: Kompas, Minggu 02 April 2006
Read More......

Rilke


Ia barangkali bisa disebut penyair modern paling serius. ”Serius” di sini tak sekadar mengacu pada ketinggian mutu karya, tetapi juga merujuk pada kesungguhan diri dan karyanya dalam menghadapi dunia. Nyaris tak ada ironi atau sikap bermain-main dalam sajaknya. Yang tergelar dari kata-katanya adalah sebuah alam batin yang terus mencari kesejatian di tengah dunia benda yang tampak menyimpan misteri dan kedahsyatan. Potret-potret dirinya, yang hampir tak pernah memperlihatkan wajah tersenyum atau tertawa, adalah sebuah pesan lain tentang sikap tak main-main itu.


Rainer Maria Rilke, yang lahir di Praha dengan nama René Karl Wilhelm Johann Josef Rilke pada tahun 1875 itu, sejak awal telah didera oleh pertanyaan tentang siapa gerangan dirinya. Orangtuanya adalah sepasang migran asal Austria di tanah Ceko. Ibunya memanggil Rainer kecil dengan nama ”Sophia”, dan mengenakan padanya pakaian perempuan, untuk melipur rasa kehilangan akan seorang anak perempuannya yang mati di usia bayi. Di kemudian hari Rilke menjadi seorang penyair pengembara yang hinggap dari satu kota ke kota lain di Eropa, senantiasa menyiapkan diri bagi hadirnya puisi yang akan ia terakan ke atas lembar-lembar catatannya.


Mula-mula ia menulis puisi lirik dalam gaya romantik Heinrich Heine. Buku pertamanya, Hidup dan Nyanyian (1894), terbit ketika ia berusia 19. Perjalanan ke Rusia pada tahun 1899 dan 1900 bersama Lou Andreas-Salomé, kekasihnya yang 14 tahun lebih tua darinya, menerbitkan ilham religius yang terekam dalam kumpulan prosa Kisah-kisah tentang Tuhan (1904) dan kumpulan puisi Buku Saat (1905). Padang tundra yang menghampar jauh, gaung genta gereja di udara dingin Moskwa, sebuah pertemuan dengan Leo Tolstoy, agaknya membuka jalan pencarian ke arah ufuk rohani yang jauh dari hiruk pikuk dunia keseharian—sebuah tema yang kelak sering ia ulang dalam beragam variasinya.


Namun, ada semacam tegangan atau bahkan paradoks dalam kepenyairan Rilke. Ia berusaha menemukan sebentuk kesejatian di luar dunia penampakan, dan karena itu ia seakan terbelah antara menatap atau memalingkan muka dari dunia. Demikianlah, dalam dua jilid Sajak-sajak Baru (1907-1908) ia melahirkan sajak-sajak penuh pemerian hidup tentang pelbagai obyek yang ditemuinya: macan kumbang, kijang, angsa, penari flamenco, orang buta, nisan, …. Dinggedicht, atau ”puisi benda”—demikianlah ia menyebut jenis sajak terbarunya itu. Sebuah baitnya yang termasyhur berasal dari kurun ini, dari sajak ”Torso Purba Apollo”: Atau batu ini akan tampak cedera/ di bawah liuk pundak tembus cahaya/ dan tak akan berkilau bagai bulu hewan buas:// tak akan berpendar dari semua sisinya/ bagai sebutir bintang: sebab di sini tak ada tempat/ yang tak melihatmu. Kau harus mengubah hidupmu.


Sejauh apa pun ia coba mencari ”pencerahan” batiniah di kedalaman puisi, dunia rupa begitu kuat meresapkan pengaruhnya dalam karya Rilke. Lukisan Paul Cézanne atau patung Auguste Rodin begitu memukaunya; tetapi tampaknya ia lebih mengagumi kerja keras, ketekunan, dan konsentrasi panjang kedua seniman itu dalam menggarap renik pelik karya mereka. Ia tak percaya pada inspirasi sesaat; ia seakan terus bergerak sekaligus menunggu, dalam gelisah dan sabar, tumbuhnya puisi dalam dirinya. Tetapi mungkin ada semacam paradoks juga di sini. Elegi Duino (1923)—karya utamanya yang terdiri dari 10 sajak bebas berangkai yang merenungi kefanaan dan kebakaan, yang wadag dan yang gaib, teror, cinta, dan keindahan—membutuhkan waktu sekitar 10 tahun untuk menyelesaikannya, dengan interval kosong yang panjang. Sementara bagian pertama Soneta untuk Orfeus (1923), yang seluruhnya berjumlah 55 sajak, ia gubah di tengah jeda penulisan sejumlah elegi (Duino) terakhir, dan rampung hanya dalam waktu beberapa hari.


Atau, barangkali, penantian bertahun-tahun adalah bentuk luar sebuah kerja keras juga.


Sumber: Minggu, 26 Maret 2006
Read More......

Surealisme

SEJAK romantisisme di abad ke-18, setidaknya, sastra kerap menempatkan diri di luar atau berlawanan dari ”yang umum”. Ekspresi baru, segar, spontan, bahkan ganjil atau ”gila”, menjadi cita-cita penciptaan yang senantiasa hendak mendobrak kebekuan rutin sehari-hari. Karya yang baik adalah karya yang mampu menerbangkan (atau bila perlu menendang) kita keluar dari kotak tempat segala kebiasaan, prasangka, waham, dan kemalasan kita bersemayam. Penciptaan adalah subversi atas kejumudan, atas status quo.


Demikianlah sastra modern sering tampak sebagai pemberontakan. Dan sejak abad ke-20, pemberontakan itu tak jarang benar-benar gemuruh dan gempar sebab dijalankan bersama-sama oleh sejumlah seniman, dengan menerbitkan manifesto, majalah, surat terbuka, atau menggelar demonstrasi. Surealisme (surrealisme, ”super-realisme”, yang ”melampaui kenyataan” menurut si pencipta istilah, Guillaume Apollinaire), yang muncul di Perancis pada awal 1920-an, adalah sebuah suara berontak yang diteriakkan oleh sekawanan sastrawan (dan kemudian juga seniman rupa) untuk mengguncang dunia borjuis Eropa yang mereka anggap sudah mapan, mandek, dan mengidap penyakit puas diri.

Para perintis gerakan itu, dengan André Breton sebagai pemukanya, menyerukan pembebasan potensi-potensi terpendam dalam diri manusia yang telah terkekang oleh nalar dan kebiasaan. Memetik ilham dari psikoanalisis Freud, kaum surealis mencoba menggali khazanah terpendam itu di alam bawah sadar, melalui ”penulisan otomatis”: suatu cara penulisan yang membiarkan pelbagai imaji dari bawah sadar muncul bebas tanpa kendali nalar dan tata bahasa. Dengan cara ini mereka mencari pertemuan-pertemuan tak terduga antarkata yang membentuk kiasan baru yang segar dan mencengangkan. (Breton meminjam teori imaji Pierre Reverdy, penyair Perancis yang kerap disebut ”saudara tua kaum surealis” itu: ”semakin jauh dan jitu hubungan antara dua ranah kenyataan yang dijajarkan, semakin kuatlah imaji itu”).

Imaji-imaji surealis yang ganjil—contoh: ”hantu mawar berembun” (Breton), ”bumi biru jeruk” (Paul Éluard), ”anggur kabut musim panas” (Louis Aragon)—adalah rangkaian provokasi literer yang bergerak di antara kebetulan (le hasard) yang berserakan dalam keseharian dan mimpi abadi akan dunia atau semesta yang satu dan saling terhubungkan. Dan itu bukan tanpa preseden: kaum surealis menemukan pendahulu mereka dalam sosok Comte de Lautréamont, yang mengatakan tentang ”indahnya pertemuan kebetulan, di atas meja bedah, antara mesin jahit dan payung”, dan Arthur Rimbaud, yang memilih judul seperti ”Perahu Mabuk” atau ”Gurun Cinta” untuk karyanya. Bagi kaum surealis, puisi adalah bentuk ekspresi paling utama sebab ia menyediakan ruang luas untuk lepas dari kerangka waktu (narasi) dan ruang (deskripsi), untuk bergerak bebas ke palung tak terhingga bawah sadar.

Surealisme acap dikaitkan dengan sebuah gerakan yang muncul di Zurich pada tahun 1916: Dada. Gerakan yang dipelopori antara lain oleh penyair asal Rumania Tristan Tzara ini memang mendahului surealisme dalam menantang kemapanan borjuasi Eropa masa itu, dan di Paris mereka mendapat sambutan baik dari Breton dan kawan-kawan. Tetapi ada sejumlah perbedaan mendasar. Dada (artinya ”kuda mainan” dalam bahasa kanak-kanak Perancis), melalui sikap mengejek dan gila-gilaan, sepenuhnya merayakan nonsens dan segala yang berlawanan dengan rasionalitas, dan mengubur semua harapan. Sementara surealisme, dengan tekad revolusioner, dan sikap sungguh-sungguh sekaligus main-main, hendak menerobos batas-batas semu ciptaan rasio dan konvensi, menuju perubahan kesadaran manusia dan dunia. Sebuah cita-cita yang mulia, tapi alangkah sulitnya. Tapi apa salahnya….

Sumber: Kompas, Minggu 05 Maret 2006
Read More......

Sublim

SEBUAH karya yang indah bisa mengundang kekaguman, kesenangan, atau kepuasan. Sebuah karya yang sublim bisa membangkitkan kedahsyatan, keharuan, bahkan kegelisahan. Adapun yang sesungguhnya terjadi, tentu, bisa tak sesederhana itu.

Sublim. Kata ini lazim disebut untuk menyatakan sifat agung, tinggi, atau halus, pada suatu karya seni. Mungkin orang menghubungkannya dengan proses fisika ”menyublim”, yakni mengubah zat padat menjadi uap dan memadatkannya lagi demi mencapai kadar kemurnian yang lebih tinggi. Atau orang menautkannya dengan istilah ”sublimasi” dalam psikologi, yang berarti mengubah dorongan naluri yang dianggap primitif menjadi tindakan yang dapat diterima atau dihargai oleh masyarakat yang beradab. Malahan, ada kalanya kata ”sublim” dipertukarkan dengan ”subtil” yang memang berarti halus, lembut, atau cerdik, bijaksana. Barangkali kemiripan sejumlah besar unsur kedua kata itu telah mengecoh sejumlah orang.

Namun, kata (dan terutama pengertian) ”sublim” ternyata punya riwayat yang memang jauh dari sederhana. Inilah juga gagasan yang diam-diam hampir tak pernah melepaskan cekamannya atas dunia penciptaan. Berbeda dengan ”yang indah” yang pernah digugat lantaran dianggap banal dan mengelabui serta memalingkan orang dari pemandangan dunia yang timpang ”yang sublim” tampaknya tak pernah kehilangan daya pesonanya.

Traktat kuno berjudul Peri Hypsous (On the Sublime, Tentang yang Sublim) konon ditulis seorang sarjana bernama Longinus dari abad ketiga Masehi, namun belakangan dinyatakan berasal dari dua abad sebelumnya dan entah siapa penulisnya adalah pembuka pembicaraan tentang ”yang sublim”. Dalam risalah itu, ”sublim” (berasal dari terjemahan Latin atas kata Yunani hypsos, ”ketinggian, keluhuran”, yang kemudian diteruskan pemakaiannya dalam pelbagai bahasa lain) mengacu pada pencapaian literer lewat metafora yang melampaui batas-batas bahasa umum. Kepiawaian itu terbangun dari sejumlah anasir: keagungan pikiran, kekuatan imajinasi, gaya bahasa yang tepat, pemilihan dan penyusunan kata secara efektif, dan akhirnya penataan keseluruhan karya secara organik.

Hingga berabad-abad, terutama sejak Renaissance, risalah itu menjadi salah satu panduan utama penciptaan dan penilaian karya sastra di Eropa. Pada tahun 1711 penyair Inggris Alexander Pope, dalam sajaknya An Essay on Criticism, angkat tabik kepada tokoh yang di masa itu masih dianggap sebagai penulis naskah klasik tersebut: ”Thee, bold Longinus!” Hampir setengah abad kemudian, pada tahun 1757, terbitlah A Philosophical Enquiry into the Origin of Our Ideas of the Sublime and Beautiful karya Edmund Burke.

Dalam traktat itu, Burke membedakan antara yang sublim dan yang indah. ”Yang indah” tentu saja enak dan mudah dinikmati, menimbulkan rasa suka, memperlihatkan kehalusan, kelembutan, keluwesan, kegemilangan, bahkan kemungilan. Sedangkan ”yang sublim”, sebaliknya, berhubungan dengan kepedihan, kekelaman, kesunyian, bahaya, kedalaman, kekosongan, tetapi juga kemegahan, kemahaluasan, ketakterhinggaan. Dibanding ”yang indah”, bagi Burke ”yang sublim” jauh lebih mampu membangkitkan emosi terkuat yang ada dalam diri seseorang. Pandangan ini kemudian berpengaruh besar terhadap estetika romantisisme dan kelak terus mengalami metamorfosisnya melalui ekspresionisme, simbolisme, Dada, surealisme, dan pelbagai aliran avant-garde.

Tak lama setelah Burke, pada tahun 1764 Immanuel Kant menerbitkan risalahnya tentang ”yang indah dan yang sublim”. Ia menelaah kedua gejala itu secara terperinci, meski kadang agak berlebihan, seperti ketika ia memilah watak bangsa-bangsa ke dalam dua kelompok besar: sebagian cenderung kepada ”yang indah”, sebagian lain condong kepada ”yang sublim”. Yang jelas, bahkan lama setelah Kant, ihwal ”yang sublim” rupanya tak kunjung sirna. Dekonstruksi, misalnya, dengan ”gerak bebas penanda” yang menggulirkan kemungkinan tafsir yang tiada habisnya, juga mengilaskan ”yang sublim” di setiap momennya momen yang tak tertentu dan sekaligus menawarkan yang tak terhingga itu.

Sumber: Minggu, 05 Februari 2006
Read More......

Tu Fu

TAK ada lukisan wajahnya yang berasal dari masa hidupnya. Dibanding Li Po (701-762), penyair jalang penuh gelora yang hidup sezaman dengannya, tampaklah ia bukan sesosok pribadi yang mengesankan khalayak ramai. Puisinya bahkan tak masuk dalam sejumlah antologi utama yang disusun semasa ia hidup, dan bertahun-tahun sesudah ia wafat. Konon ia sangat ingin mengabdikan dirinya untuk Kaisar dan negerinya, tapi sampai dua kali ia tak lulus ujian calon pegawai negeri. Tampaknya ia bukan orang yang sangat mujur dalam kehidupan sehari-hari. Namun, berabad-abad setelah kematiannya, ternyata namanya terus mengharum dan membesar. Tak sedikit yang menyebut, setidaknya sejak abad ke-20, bahwa Tu Fu (712-770) adalah ”penyair Tiongkok terbesar sepanjang masa”.


Lahir di tengah sebuah keluarga bangsawan yang mulai jatuh miskin, pada tahun 712 Masehi, Tu Fu menjalani masa tumbuh yang cukup tenang meski tak mudah. Tak lama setelah ia dilahirkan, ibunya wafat. Ia pun diasuh oleh bibinya, ketika ayahnya kemudian menikah lagi. Dalam puisinya kelak ia cukup sering menyebut adik-adik tirinya, tapi tak pernah ibu tirinya. Sebagai anak seorang pegawai biasa–meski kakeknya adalah seorang pujangga istana–ia mendapat pendidikan yang umum untuk masa itu: hafalan dan kajian falsafah Konfusius, sejarah, dan puisi. Ia bukan seorang siswa yang menonjol, tapi menunjukkan bakat sebagai penyair.

Hidup di zaman Dinasti Tang (618-910)–yang kerap disebut zaman keemasan peradaban Tiongkok setelah Dinasti Han yang berkuasa 400 tahun sejak dua abad sebelum Masehi itu–kemampuan bersyair rupanya sebuah syarat mutlak. Tak hanya untuk bisa lulus ujian negara, tapi juga demi kelancaran pergaulan sehari-hari. Jika engkau mengunjungi seseorang di pondoknya dan ia tak ada, maka engkau akan menyelipkan secarik kertas bertuliskan bait pendek yang menyesali raibnya sang penyepi. Jika engkau diundang menghadiri sebuah pesta, maka engkau mesti bersiap menerima giliran melantunkan syair klasik maupun gubahanmu sendiri.

Selama berabad-abad sebelumnya, bentuk puisi yang paling populer di Tiongkok adalah balada (yuefu) yang agak bebas, dengan metrum tak seragam antara tiga sampai tujuh karakter tiap lariknya. Chueh-chu, atau sajak empat seuntai, termasuk dalam rentang bentuk ini. Pada zaman Tang, berkembang suatu bentuk yang jauh lebih ketat dan rumit, lushi (bentuk beraturan): delapan larik yang masing-masing terdiri dari lima atau tujuh karakter, masing-masing larik berpasangan dengan yang berikutnya, dengan rima pada larik-larik genap dan paralelisme serta kontras yang rapi di tiap lariknya. Salah satu penyair yang mula-mula menggunakan bentuk ini adalah Wang Wei (701-761), yang menggabungkan keketatan bentuk dengan kesyahduan lirisnya menyaksikan pemandangan alam yang indah namun fana.

Tu Fu, yang belasan tahun lebih muda dari Wang Wei, dianggap sebagai penyair yang paling piawai mengolah kerumitan bentuk dan kelembutan rasa dalam lushi, dengan kekuatan bahasa yang tampak jernih namun sekaligus ambigu. Tentu saja ia tak hanya menggubah sajak dalam bentuk ini; keanekaan bentuk yang ia jelajahi bahkan kadang membuat ia dibandingkan dengan banyak penyair dari pelbagai khazanah sekaligus. Demikianlah, kepada khalayak Barat ia pernah diperkenalkan sebagai ”Virgil, Horace, Ovid, Shakespeare, Milton, Wordsworth, … hingga Baudelaire dari Tiongkok”.


Pun rentang tema yang ia geluti begitu luas: mulai dari kesengsaraan akibat pemberontakan dan perang saudara yang menoreh hidupnya hingga akhir; eksil, cinta, dan rindu akan keluarga yang jauh; pelbagai tempat, tokoh, dan peristiwa bersejarah; hingga permenungan sunyi tentang alam–itu semua menampakkan kepekaannya yang tinggi akan pelbagai hal-ihwal di sekitar dirinya. Lihatlah misalnya petikan sajak ”Hujan Malam” Tu Fu (terjemahan Sapardi Djoko Damono) ini: Ia suka turun malam-malam bersama angin lembut sepoi/ Diam-diam membasahi seluruh muka bumi./ Di atas alam tenang mengambang awan kelam./ Hanya ada cahaya dari perahu di sungai./ Besok segalanya akan menjelma merah dan basah/ Dan seluruh Chengtu akan penuh bunga-bunga rekah.

Sumber: Minggu, 12 Februari 2006

Read More......

Milton

Dalam dua puluh tahun terakhir hidupnya ia menjadi buta. Kelompok Republik yang ia dukung kalah dari Kaum Royalis dalam Perang Saudara Inggris. Karya-karyanya, termasuk pamfletnya yang menganjurkan kebebasan menyuarakan pendapat, dibakar oleh algojo di London. Pada tahun 1659 itu ia bahkan sempat dijebloskan ke penjara; tetapi kemasyhurannya di seantero Eropa membuat para penasihat Raja Charles II gentar dan tak lama kemudian melepaskannya.


John Milton (1608-1674) adalah sosok yang tak mudah diringkaskan. Ia seorang humanis penganut nilai-nilai Pencerahan dan sekaligus seorang puritan. Ia seorang penyair yang suka menyepi, tetapi selama dua dasawarsa ia bekerja sebagai birokrat tinggi pada suatu masa yang penuh kecamuk pertikaian. Ia menulis puisi epik dalam gaya agung, tetapi juga menulis pamflet dan terlibat dalam polemik yang penuh serang-menyerang secara vulgar. Ia seorang yang sarat kontradiksi, sekaligus seorang yang berwatak kuat dan konsisten.

Pada usia 16—di tengah kesibukannya sebagai seorang mahasiswa di Cambridge—ia mulai menggubah puisi. Karya pertama itu, ”On the Death of a Fair Infant Dying of a Cough”, ia tulis setelah menyaksikan kematian bayi seorang kakak perempuannya. Ia juga menulis sebuah himne, ”On the Morning of Christ’s Nativity”. Di antara sejumlah puisinya yang ia tulis sebelum meninggalkan Cambridge pada usia 23 adalah ”On Shakespeare”, sebuah sajak pujian penuh ungkapan remang yang takzim kepada sang pujangga. Lima tahun kemudian seorang sahabat karibnya mati tenggelam, dan Milton—barangkali juga terbayangi kematian ibunya setahun sebelumnya—menulis ”Lycidas”, sebuah elegi pastoral yang bagi sejumlah kritikus (antara lain Harold Bloom) adalah sajak pendek terbaik dalam bahasa Inggris.

Namun, baru pada usia 50-an, ketika ia sudah sepenuhnya buta, Milton akhirnya memulai, menyelesaikan dan menerbitkan karya utamanya, Paradise Lost (1667). Banyak kritikus menyebut inilah puisi epik terpenting dalam khazanah sastra Inggris. Milton, yang bertahun-tahun membuat catatan persiapan untuk karya itu, mula-mula sempat mempertimbangkan akan menulis sebuah legenda zaman Raja Arthur, tetapi kemudian berubah pikiran. Ia memilih mengangkat sebuah latar dan tema yang lebih luas dan mendasar: jatuhnya manusia ke dunia.

Kisah Adam dan Hawa adalah sebuah kiasan yang pelik, bahkan rumit, tentang baik-buruk dalam kehidupan. Orang bisa, dan sudah, lama berdebat apakah atau tidakkah rentetan kejadian (godaan, pelanggaran, kejatuhan) itu adalah memang kehendak-Nya semata. Atau inilah soal pengetahuan, kebebasan memilih, dan tanggung jawab yang menyertainya. Lewat bahasa yang jauh dari ungkapan sehari-hari, dalam rangkaian majas yang sering begitu terperinci, dan gaya epik yang dipetik dari Homeros dan Virgil, Paradise Lost menghadirkan tokoh-tokoh dalam drama kejatuhan itu dengan segenap kerumitan dan kepelikan masing-masing. Adam dan Hawa bagi Milton adalah dua sosok tragis yang jatuh karena kelemahan dalam diri mereka—sebagaimana tokoh-tokoh dalam tragedi Yunani jatuh karena keangkuhan mereka—meski akhirnya mendapat pengampunan. Sementara Setan di situ adalah sosok yang kompleks, penggoda ulung yang cerdik dan memendam dendam (sebagai makhluk terusir), yang dengan geram berseru, ”Better to reign in Hell than serve in Heaven”; tetapi akhirnya sampai pada simpulan bahwa, ”The mind is its own place, and in itself/Can make Heaven of Hell, a Hell of Heaven”.

Konon, sehabis membaca Paradise Lost, seorang teman Milton mengembalikan buku itu kepada sang penyair dan berkata, ”Engkau sudah bicara banyak tentang surga yang hilang, lalu apa yang akan kau katakan tentang surga yang bisa kita dapatkan?” Beberapa tahun kemudian Milton menjawabnya, dengan sebuah sekuel, Paradise Regained (1671).

Sumber: Kompas, Minggu 26 Februari 2006
Read More......

Akhmatova

Anna Andreevna Gorenko lahir di Odessa, Ukraina, tahun 1889. Tak lama kemudian orangtuanya pindah ke sebuah wilayah bernama Tsarskoe Selo (Kampung Tsar), tempat berlibur keluarga kerajaan di pinggiran kota St Petersburg. Di sana ia tumbuh menjadi seorang gadis manis yang pendiam, dan suka menulis puisi diam-diam. Pada suatu hari, di usia 17, ia berniat menyiarkan karyanya di sebuah majalah yang terbit di St Petersburg. Ayahnya mendengar kabar itu, memanggilnya, dan seraya menegaskan bahwa ia tak melarang anaknya menulis puisi, meminta Anna agar tak menggunakan nama keluarganya yang terhormat.



Si gadis patuh saja, dan memilih nama leluhur dari pihak ibunya yang memiliki darah Tartar. Leluhur itu adalah Akhmat Khan, salah satu turunan Jengis Khan. Sejak itulah ia menggunakan nama Anna Akhmatova, termasuk dalam setiap dokumen yang mesti ditandatanganinya. Sejak itulah pula nama Anna Akhmatova memasuki khazanah puisi Rusia.

Joseph Brodsky, ketika menceritakan kejadian itu dalam sebuah esainya, berkomentar bahwa permintaan ayah Anna Gorenko sebenarnya berlebihan. Di lingkungan aristokrat Rusia masa itu memang beredar pandangan angkuh bahwa profesi sastra tidak pantas bagi kalangan mereka, dan lebih cocok untuk kaum yang lebih rendah dalam usaha mengabadikan nama. Namun, kata Brodsky, Gorenko toh bukan nama keluarga pangeran. Barangkali bermukim di tempat peristirahatan keluarga Tsar telah membuat tinggi hati ayah si calon penyair yang kelak menjadi salah satu sosok terbesar dalam kesusastraan Rusia modern itu.

Setelah belajar hukum di Kiev, Ukraina, selama dua tahun sejak 1908, Akhmatova kembali ke St Petersburg dan mempelajari sastra Rusia. Pada musim semi tahun 1910 ia menikah dengan penyair Nikolai Gumiliev, dan berbulan madu di lingkungan bohemian di Paris. Sepulang dari sana, pada tahun 1911, mereka mendirikan Tsekh Poetov (Gilda Penyair), yang sekaligus menandai hadirnya sebuah gerakan sastra baru: akmeisme. Penggunaan kata “gilda" juga memperlihatkan sikap baru kepenyairan yang mengutamakan olah keterampilan ketimbang mengandalkan ilham dari antah berantah.

Akmeisme menyerukan suatu puitika yang hendak menghayati hidup sehari-hari dengan sederhana: puisi adalah cermin bening pengalaman batin, yang menjaga keseimbangan bentuk dan ekspresi langsung lewat imaji (bukan saranan tak langsung melalui simbol), yang menerima ide sejauh itu memperkuat efek emosional dan bukan untuk mendukung sikap ideologis. Suara demikian memang merupakan perlawanan terhadap gerakan simbolisme, dengan segenap gelora imaji dan semangat mistisnya, yang merupakan arus dominan dalam kesusastraan Rusia sejak akhir abad ke-19. Selain itu akmeisme hendak membebaskan diri dari cekaman ideologi yang mulai membayang pada gerakan futurisme Rusia waktu itu.

Puisi lirik Akhmatova pada dasarnya adalah suara lirih yang intens dan jernih, sering dalam bentuk dan metrum yang tertib, tentang dunia sehari-hari: tentang cinta yang raib, makam seorang teman lama, asin air mata, liuk asap tembakau biru kelabu, peta kusam, selai murbei, sarung tangan…. Tetapi rupanya pengalaman hidup membuat ia tak selalu bisa bersuara demikian. Petang (1912), kumpulan pertamanya yang berisi sajak-sajak cinta, dan kumpulan kedua, Rosario (1914), yang memasukkan citraan religius, memperlihatkan Akhmatova sebagai seorang lirikus yang cemerlang. Kumpulan ketiga, Kawanan Putih (1917), mulai banyak menyinggung soal perang dan akibatnya atas nasib manusia. Adapun Anno Domini MCMXXI (1921), yang antara lain mengangkat ihwal hukuman mati atas Nikolai Gumiliev dan pelbagai teror oleh negara kala itu, membuatnya menjadi penyair yang dibungkam hingga 20-an tahun kemudian. Ketika anaknya, Lev, ditahan dan dibuang ke Siberia pada tahun 1949, Akhmatova bahkan terpaksa menulis sejumlah sajak pujian untuk Stalin demi pembebasan anaknya itu.

Dalam rangkaian sajak Rekuiem (1935-40), yang ia gubah di tengah suasana tegang dan muram di bawah Stalin, ia menulis: Air matamu yang hangat melubangi/ Lantai dingin es tahun baru./ Pohon poplar penjara itu terus membungkuk,/ Tak terdengar suara—namun betapa banyak nyawa/ Tak berdosa tengah menghampiri mautnya.

Sumber: Kompas, Minggu 18 Juni 2006
Read More......

Kamis, 11 September 2008

Chiyo-ni





Haiku adalah meditasi sekilas tentang kesementaraan. Haiku adalah momen leburnya batas antara diri dan alam. Haiku adalah kesahajaan bahasa di hadapan keajaiban bernama dunia. Haiku adalah perhatian spontan terhadap sejumlah detail tak terduga dari alam semesta. Haiku adalah … semua itu dan mungkin bukan itu semua.


Rumusan tentang haiku, dan rumus penulisannya (tiga larik, 5-7-5 atau 17 suku kata, dan seterusnya), barangkali sekadar langkah pertama memasuki khazanah itu. Atau, jika bukan pertama, setidaknya sekadar salah satu langkah di antara langkah-langkah lain. Langkah berikutnya (atau lainnya) adalah menghayati citraan dan suasana yang terbit dari saranan kata-kata yang tertera. Langkah berikutnya (atau lainnya) lagi adalah mengalami dunia, setiap momen yang mengalir bersama detak hidup, secara langsung dan begitu saja. Seakan-akan kita berdiri di luar bahasa, di luar segenap konsep atau pemahaman yang dibentuk oleh bahasa, dan mengalami dunia tanpa perantaraan apa pun.

Bagi sebagian orang (yang percaya akan keserbahadiran bahasa dalam kesadaran maupun ketaksadaran manusia) itu adalah hal mustahil. Sedangkan bagi mereka yang menganggap keluasan jiwa manusia tak seluruhnya terduduki oleh bahasa, tentu itu menjadi mungkin. Bagi mereka yang mengamalkan haikai no michi (jalan hidup haiku), itu adalah keniscayaan biasa.

Chiyo-ni (1703-1775) adalah seorang perempuan penyair yang menempuh jalan demikian. Ia menjadi salah satu ahli waris terbesar model perpuisian Matsuo Basho (1644-1694) di masa hidupnya. Di pertengahan Zaman Edo itu pengaruh Basho, sang haijin (penyair haiku) kelana terkemuka, memang telah membekas di sejumlah wilayah yang dilaluinya. Termasuk di kota kecil Matto, tempat kelahiran Chiyo-ni, yang terletak di antara Pegunungan Putih (Shirayama/Hakusan) dan Laut Jepang. Basho menekankan pentingnya tentang puisi (dan hidup) berdasarkan kesederhanaan, kehalusan, keanggunan, kesahajaan jiwa, kejernihan, penjarakan, penyatuan dengan alam.

Ia mulai menulis sejak belia. Konon puisi pertamanya lahir ketika ia berusia 6 tahun. Sehabis musim panen, ketika ia bermain melempar-lemparkan gabah ke arus sungai kecil di kebun rumahnya, ia tiba-tiba takjub: di tamanku/ bunga bintang berkembang/ cepat saksikan… Di masa remaja, ketika bakatnya yang istimewa mulai menjadi buah bibir para haijin, salah satu di antara mereka, seorang murid Basho, Shiko Kagami, bertandang ke rumah Chiyo dan memintanya menulis sebuah haiku tentang bunga bakung. Chiyo, mungkin tak lagi takjub tapi kian hening dan bening, menulis: musim semi/ tertinggal/ dalam bunga bakung.

Chiyo, artinya "seribu tahun", adalah nama yang disematkan kepadanya saat lahir. Setelah dewasa ia biasa disapa Chiyo-jo; dan belakangan hari ketika ia mencukur habis rambutnya dan memutuskan menjadi seorang biarawati Buddhis sekte Jodo-Shinshu (Tanah Murni), di usia 52, barulah namanya menjadi Chiyo-ni. Menjelang akhir hayatnya, dengan tubuh yang ringkih oleh sakit, di antara beberapa teman perempuan sesama haijin, ia meninggalkan larik-larik ini: air bening dingin/ kunang-kunang terbang hilang/ senyap.

Sumber: Minggu, 03 September 2006

Read More......

Yeats

Mitologi adalah satu sumber ilham terbesar puisi, dan puisi modern bukanlah perkecualian. Memang, tak sedikit penyair modern yang menganggap masa silam sebagai semacam kungkung dan karena itu berusaha lepas darinya. Tetapi tak kurang pula jumlah mereka yang mencoba menggali peninggalan lama dan menampilkannya kembali dalam wujud baru. William Butler Yeats (1865-1939) adalah salah satu tokoh utamanya. Mitologi Keltik Irlandia, Yunani, maupun ”mitologi universal” (yang sesungguhnya sangat personal) yang ia coba gali dari palung bawah-sadar, ia serap dan olah kembali dengan beragam jalan dalam sajak-sajaknya.


Di awal karier literernya, Yeats adalah seorang penyair ”romantik akhir” yang menggubah sajak-sajak merdu yang terpesona oleh alam negeri kelahiran, keajaiban dan manis-getirnya cinta, pelbagai legenda dari moyangnya sendiri maupun dari anak benua jauh, serta dunia para mambang dan peri. Setidaknya sejak terbitnya kumpulan lirik Crossways dan puisi naratif dramatik The Wanderings of Oisin pada tahun 1889 hingga In the Seven Woods (1904), watak romantik itu cukup menonjol. Tetapi sesuatu kemudian terjadi.

Pada tahun 1908, datang seorang pemuda Amerika berumur 23 bernama Ezra Pound, yang mengatakan berniat ”belajar menulis puisi” dari Yeats—”satu-satunya penyair yang layak dipelajari sungguh-sungguh”, dalam kata-kata Pound kala itu. Anak muda itu kemudian bekerja sebagai sekretaris pribadi si penyair Irlandia. Mereka pun banyak bertukar pikiran, dan entah siapa di antara mereka yang kemudian lebih banyak ”belajar menulis puisi”. Yang jelas, sajak-sajak Yeats yang terbit di masa itu, yakni The Green Helmet and Other Poems (1910) dan Responsibilities (1914), menunjukkan perubahan ke arah puisi yang kian padat, menatap lekat dunia sehari-hari, serta lebih bebas memainkan rima ataupun irama—sebagaimana dikedepankan oleh Pound bersama kaum imajis di London lewat sejumlah manifesto mereka.

Kelak, ketika ia kembali mengolah tema-tema mitologis melalui tokoh-tokoh dalam folklor Irlandia maupun dari khazanah lain, sensibilitas modern itu sudah meresap ke dalam watak puisinya. Hasilnya adalah larik-larik yang ketat dan bernas sebagai aforisme, dan tentu saja di kemudian hari kerap dikutip orang. Things fall apart; the centre cannot hold;/ Mere anarchy is loosed upon the world. Atau O body swayed to music, O brightening glance,/ How can we know the dancer from the dance? Begitu juga bait yang akhirnya menjadi epitaf di makamnya di Sligo County, Irlandia: Cast a cold eye/ On life, on death./ Horseman, pass by! Dalam sebuah sajaknya, ia pernah mengatakan ingin menulis puisi yang ”dingin dan penuh gelora, seperti fajar”.

Sajak ”Leda and the Swan”—yang termuat dalam kumpulan The Tower (1928), dan barangkali sajak Yeats yang paling sering masuk dalam antologi puisi modern—memperlihatkan bagaimana sebuah sajak bisa menjadi ”dingin dan penuh gelora” sekaligus. Berkisah tentang Leda, istri Raja Tyndareus dari Sparta, yang suatu hari diperkosa oleh seekor angsa (jelmaan Dewa Zeus yang jatuh cinta pada manusia jelita itu), sajak berbentuk soneta itu menggambarkan adegan aneh dan mengerikan itu dengan tatapan yang seakan tak berkedip sedetik pun. Bagaimana ”sayap besar” angsa mengepak di atas ”gadis yang gemetar”, lalu ”kelebat putih” dan ”geletar pada panggul” yang kelak ternyata mengakibatkan perang besar, ”dinding rengkah, atap terbakar”. Sebab terjadilah di sana pembuahan, dan salah satu anak yang lahir kemudian dikenal dengan nama Helena dari Troya. Sajak ini tentu mudah menimbulkan kontroversi. Tetapi memerikan sebuah dongeng tua tentang pemerkosaan yang ganjil dengan jenih dan hidup tidaklah bisa disamakan dengan membenarkan hal itu. Barangkali Yeats justru hendak menekankan betapa sesuatu yang bermula dari kekerasan hanya akan berujung pada kekerasan lain, peperangan, dan kehancuran.

Dalam pidato penerimaan Hadiah Nobel Sastra yang diberikan kepadanya pada tahun 1923, Yeats menyebut dengan anggukan takzim bagaimana sejumlah penulis di negerinya (di tengah kecamuk perang yang berlarat-larat) bertahun-tahun bergulat melepaskan diri dari ”provinsialisme”. Bersama mereka ia membebaskan diri dari wawasan yang sempit dan merengkuh pelbagai khazanah yang lebih luas, demi melihat kemungkinan penciptaan yang jauh melintasi batas-batas.

Sumber: Kompas Minggu, 19 Februari 2006
Read More......

Tidur




DI saat jaga, manusia berada di satu dunia bersama; ketika tidur, setiap orang memasuki dunianya yang paling pribadi (Heraklitus dari Efesus, 5 abad sebelum Masehi).


Barangkali puisi adalah semacam tidur. Sebuah khazanah yang intim, rutin yang misterius, inisiasi singkat tentang yang tak terduga dan yang tak terhingga.

Manakala seseorang memejamkan mata, larut, dan menyerahkan sebagian atau seluruh kesadaran dirinya kepada sebentang gelap yang tak terukur, meski mungkin hanya sebentar, sesungguhnya ia tengah menjalin suatu hubungan yang istimewa dengan dunia. Ia tak sedang (mencoba) mengendalikan apa pun, termasuk dirinya. Ia, untuk sementara, sepenuhnya "membiarkan" hal-ihwal di sekitar berlangsung tanpa prasangka dan campur tangannya.

Tentu hal ini bisa juga dilihat sebagai hanya soal istirahat sejenak, sebab setelah itu toh ia kembali menjadi subyek yang menjalankan sebentuk kuasa (setidaknya melalui perangkat kognitif maupun motorik) terhadap dunia yang melingkunginya. Dan dunia tak membaik hanya karena manusia bangun tidur. Memang. Tetapi dunia juga tak akan membaik hanya karena manusia tak pernah tidur demi bekerja tanpa henti mengolah dunia.

Sebab, bukankah manusia bekerja, beribadah, bercinta, dan berpikir dengan tubuhnya juga, mengaktifkan organ yang satu dan lainnya? Dan pasti tiba saat ia menjadi lelah, mungkin sembari berbahagia, mungkin tidak. Dan ia akan terkantuk dan terlelap-kecuali ia seorang pengidap insomnia. Seorang insomniak adalah seorang yang berhasrat, tapi tak dapat menenggelamkan diri ke dalam lautan pribadi yang asing itu. Tanpa atau dengan obat penenang, masing-masing orang terjun ke sana untuk menyelam setiap malam (atau sore, siang, pagi), sebagian hanya mengapung-apung di permukaannya.

Dalam tidur, orang tak jarang menyaksikan hal-hal yang paling muskil, mencekam, gila, indah, jenaka, mengerikan. Dalam tidur, orang mungkin tak melihat apa pun di dinding kelopak matanya: hanya kosong yang entah namun sementara. Dalam tidur, orang bisa berjalan dan membuka pintu dan melakukan hal-hal yang tak akan dikerjakannya di kala jaga. Dalam tidur, bangkitlah "yang lain", yang berdiam dan bekerja diam-diam dalam diri kita. Terang sudah, tidur bukanlah semata-mata istirah.

Jika mimpi, bunga yang mekar dari pohon tidur itu, adalah subversi atas tata dunia sadar sehari-hari, maka tidur adalah penjungkiran posisi sang ego yang cenderung meyakini diri sebagai pusat pemaknaan dan penjelajahan dunia tersebut. Sebab, di sana sosok sang aku sering tak bisa lagi menentukan bahkan geraknya sendiri, apalagi hal-ihwal yang dihadapinya. Malahan sosok itu sendiri bisa menjadi tak jelas, tak tentu, semacam narator hantu yang setiap saat mungkin berganti-ganti letak dan rupa tanpa menghendakinya sendiri.

Luruhnya keutuhan, hilangnya ketetapan, dan lepasnya kendali pusat diri di alam antah-berantah itulah juga barangkali yang telah mengilhami sejumlah asosiasi negatif maupun enigmatik atas laku tidur. Salah satunya adalah kiasan tidur sebagai taklid, tindakan mengikuti para pendahulu tanpa sikap bertanya-tanya. Schopenhauer merasa terbangun dari "tidur dogmatik" yang bertahun-tahun setelah membaca Kant; Kierkegaard mengingatkan agar jangan sampai kita terbangun hanya pada saat maut tiba menjemput. (Tetapi jangan lupa: Schopenhauer juga menulis tentang sebuah mimpi besar yang diimpikan oleh sang Pemimpi Agung, di mana semua tokoh dalam impian-Nya pun mengimpikan segala hal-ihwal; sedangkan Kierkegaard memberi perhatian khusus pada ketidakpastian, rasa takut dan gentar ketika seseorang mengambil pilihan dalam hidup)

Sementara itu, tentu ada kias yang lebih tua: kematian. Di antara bait-bait "Ars Poetica" Jorge Luis Borges, kita akan bertemu dengan larik-larik ini: …betapa maut/ yang menakutkan sekujur tubuh kita adalah maut/ yang datang setiap malam dan bernama tidur. Borges menggunakan majas yang begitu bersahaja karena baginya puisi pada akhirnya adalah "baka dan bersahaja". Puisi selalu kembali sebagaimana fajar dan senja kala. Menyaksikan tidur pada apa yang disebut maut, dan melihat pada senja kala selapis emas yang sedih, itulah, baginya, puisi.

Adapun John Keats, dalam "Sleep and Poetry", sebuah sajak dari tahun 1816, lima tahun menjelang kematiannya, seolah-olah bertanya: Adakah yang lebih khidmat dari semerbak mawar-kesturi mengembang/ di pulau hijau, jauh dari mata memandang?/ Lebih segar dari rindang lembahan?/ Lebih rahasia dari tempat bulbul bersarang?/ Lebih tenang dari wajah Cordelia?/ Lebih berilham dari romansa?/ What but thee, Sleep? Soft closer of our eyes/ Low murmurer of tender lullabies. Ia lalu membandingkan tidur dengan sayap angsa, dara, elang, petir yang menyambar, derau bumi, dan tak menemukan majas yang memuaskan. Dengan kata lain, ia mendapatinya sebagai sebuah enigma yang tak teruraikan.

Heraklitus barangkali tidak seratus persen tepat. Sebab di saat jaga, orang pun hidup di dunia sadarnya sendiri-sendiri, selain berada di satu dunia bersama. Tetapi dalam tidur (yang sebentar maupun yang baka) memang tergelar semacam dunia yang hanya mungkin dimasuki orang-seorang, dan tetap merupakan teka-teki yang kekal, dari mana mungkin datang suara-suara, rupa-rupa, yang bukan biasa, yang bisa memarakkan dan mendalamkan kehidupan.

Barangkali tidur adalah semacam puisi.

Sumber: Kompas, Rabu 04 Februari 2004
Read More......

Puing

BERKALI-kali neraka jahanam coba dibikin di muka Bumi. Dalam pelbagai wujud dan ukuran. Dengan beragam instrumen dan alasan. Di Siberia, Auschwitz, Hiroshima, Indocina, Indonesia, eks-Yugoslavia, Rwanda, dan seterusnya. Kekejian dan keberingasan seakan memilih tempat sembunyi paling gelap dalam jiwa manusia atau bangunan kekuasaan yang dihuninya, dan menyeradak keluar di saat yang tak terduga, dengan cara yang sering tak masuk akal. Teror memang sering tak masuk akal, membingungkan, bahkan mencengangkan. Sebab, tiba-tiba nyawa jadi teramat murah, maut terlalu mudah. Simbah anyir darah mengental menghitam, daging lelaki-perempuan terpanggang, mayat-mayat membusuk renyuk bertindihan, puntung-puntung anggota tubuh berceceran.


Dari hari ke hari, dari negeri ke negeri, dunia terasa sebagai tempat yang makin tua, makin mengerikan dan menyedihkan; berpusing antara terang-gelap, panas- dingin, busung-lapar, keluasan borok dan ketebalan asap. Di dunia yang tampak ruwet dan parah, yang timpang tapi suka berlagak necis ini, ternyata puisi tetap ditulis dan dibaca-entah hanya membarahkan atau mengeringkan luka-luka.

Namun, puisi bukan sekadar kekenesan, atau kecengengan, di sebuah dunia yang sering mengecewakan. Meski ia tak perlu juga menganggap diri sejenis nubuat atau obat sapu jagat. Jika panggilannya lantang menggarang, mungkin itulah gema gemuruh dari sumur tambang menggelegak. Jika rayuannya lirih meragu, barangkali itulah embun jatuh dari pelupuk matahari.

Puisi, tenaga rahasia kata yang bangkit dari susunan gambar-bunyi dan latar sunyi, yang merangkum makna atau melampauinya, adalah tilas dan proses yang memang punya sukacita dan kepedihan tersendiri. Ia tak bisa diharapkan datang dari hiruk-pikuk atau kalang-kabut yang umum. Atau dari amarah yang menggembung jadi monster, yang cuma mengenal gerah dan gatalnya sendiri. Puisi: setrum yang memercik dari pergesekan huruf hidup dan mati, puting beliung yang menggila dari bukit dan lembah sepi, kelopak-kelopak majas yang mekar dari dada dan kepala yang merindu yang mencari.

Mula-mula tentulah puisi hidup dari rangkaian matra bunyi kata-kata, yang mengundang citra-citra. Citraan mengembang, mungkin meledak, menjelma musik dari yang indah hingga yang ganjil, bergerak jadi sebentuk mabuk yang meriah, aduh yang terpendam, sakit yang rawan. Jalinan ekspresi yang kadang begitu genting, tetapi kadang seperti tanpa tujuan selain berusaha merengkuh hantu-hantu makna yang membayanginya, demi akhirnya menari bersama.

Mungkin itulah takdir dan kutuk kita. Sebab, setiap jiwa-dalam ungkapan Stephane Mallarme-adalah “sebuhul irama”. Tak pelak, di hadapan pemandangan yang menggetarkan, pengalaman yang mendahsyatkan, buhul itu bisa tercekau, tersandera, terburai, mengurai dan merangkai sekian rupa dan rasa, gerak dan nada, ingatan dan lupa, melahirkan kembali sejuta tata atau nikmat-gila yang tak terduga. Dari sana, siapa tahu bisa kita kenali nama-nama asli segala yang ada; atau, cukuplah bahwa kita masuki hidup hingga ke denyut, desir, dan lekuk-liuknya.

Akan tetapi, memang kian tak gampang, puisi dan penyairnya, menyatakan diri. Di satu sisi, ia dirundung kecemasan sekadar mengulang-ulang; di sisi lain, ia dikepung kebanalan. Hanya sebentuk cinta yang berat, namun bersahaja, atau mungkin “iman” yang sulit dijelaskan, yang terus menjaganya. Atau entah apa.

Dalam sebuah sajaknya, yang dipersembahkan kepada penyair Wallace Stevens, Archibald MacLeish pernah terdengar gamang bertanya: Mengapa kita berjerih dengan puisi, dari masa ke masa, bahkan di masa seperti ini, ketika “makna pun tak bermakna lagi”? Menyitir Hoelderlin, ia mengeluh tentang dunia yang kehilangan kedalaman. Tetapi, kemudian ia seperti insaf betapa puisi, “monumen yang goyah, yang menjanjikan keabadian” itu memang tak terelakkan-selama manusia, kalaupun dalam sekarat, masih sanggup mengeraskan “garam laut yang larut” pada “batuan, pohonan hening, dengan cecabang bergeming”.

Maka, “Mengapa jadi penyair? Mengapa jadi manusia!”-seakan si penyair ragu dan mantap sekaligus. Ya: pada akhirnya puisi-puisi hadir di antara sekian banyak benda dan kerja di dunia, mungkin tak amat luar biasa, mungkin menyisip saja, meski bukan mustahil sekali waktu ia bergerak ke muka, ke sisi, ke dalam, menghadirkan kemungkinan-kemungkinan lain bagi kehidupan.

Hari ini, di tengah derau runtuhan yang mengiang dari seratus mata angin, gaung itu tiba kembali, seperti sepi: “Mengapa jadi penyair? …”

Sumber : Kompas 1 November 2002

Read More......

Pembaca

"BAGAIMANA sebenarnya puisi bekerja atau diolah di benak pembacanya?" tanya secarik surat tanpa tanda tangan. Tergantung masing-masing pembaca, tentu, dan tergantung puisinya juga, pasti. Atau entahlah. Namun, saya teringat Abbas Kiarostami, sutradara terkemuka asal Iran itu.



Selesai menonton film Kiarostami The Wind Will Carry Us, kira-kira setahun setelah film itu diluncurkan pada tahun 1999, saya sempat tertegun saat keluar dari gedung bioskop. Mungkin gambar pemandangan dusun yang indah di sebuah kawasan pegunungan di Iran, yang berulang-ulang diambil dari jarak jauh maupun disusur dari dekat oleh kamera yang bergerak, namun sunyi nyaris tanpa ilustrasi musik, dalam film itu masih menyihir ingatan saya. Mungkin juga plotnya yang sederhana, setengah tersembunyi hingga akhir, tentang beberapa orang yang berniat membikin film dokumenter tentang upacara perkabungan yang unik di wilayah pedalaman tersebut, dan untuk itu harus menunggu kematian seorang nenek jompo, tetapi kemudian menemui pelbagai peristiwa di luar rencana mereka, yang menjadikan saya terpesona. Atau mungkin dialog-dialog ringan namun cerdas antara Behzad, si tokoh utama pembuat film dokumenter, dan anak kecil bernama Farzad yang menjadi semacam pemandunya di kampung itu, yang membuat saya tercengang. Atau tokoh-tokoh kunci yang justru tak pernah kelihatan, yang membikin penasaran.

Akan tetapi, rasanya benak saya terus terusik oleh sekian puluh detik kegelapan, ketika layar sepenuhnya hitam, ketika Behzad, yang disapa "insinyur" oleh penduduk setempat-sambil menunggui seorang gadis berkerudung memerahkan susu sapi untuknya di sepetak kandang bawah tanah-melafalkan sebait sajak dalam bahasa Parsi, yang menjadi ilham dan judul film itu. Dalam malamku, betapa singkat, sayang/ Angin segera akan bertemu dedaunan./ Malamku betapa singkat betapa sarat kepedihan/ Wahai! Kau dengarkah bisikan bayang-bayang?/ Di sana, di tengah malam, sesuatu terjadi/ Bulan cemas dan merah/ Dan, bergayut pada langit-langit ini/ Yang mungkin runtuh sewaktu-waktu,/ Mendung, seakan sekerumun perempuan berkabung,/ Menunggu kelahiran hujan./ Sedetik, lalu hening bergeming./ Di balik jendela ini,/ Malam gemetar/ Dan bumi berhenti./ Di balik jendela ini, seorang asing tengah cemas akan kau dan aku./ Engkau di kehijauanmu,/ Lekapkan tanganmu, kenangan membara itu,/ Ke tanganku yang mencinta./ Dan pasrahkan bibirmu, penuh hangat kehidupan/ Ke bibirku yang mencinta./ Angin akan membawa kita!/ Angin akan membawa kita!

Itulah sepotong sajak Forough Farrokhzad, perempuan penyair kelahiran Teheran yang meninggal dunia di usia 33 dalam sebuah kecelakaan mobil di tahun 1967. Dengan padat dan kuat sajak itu menghadirkan sejumlah kontras yang bagai bersahut-sahutan, tetapi juga misteri yang tak ternamai, seakan hidup dan maut itu sendiri berpapasan di sana dan bertukar kata dalam bahasa yang sudah punah. Yang "singkat" ternyata juga adalah yang "sarat". Mendung yang bagaikan "sekerumun perempuan berkabung" tengah menunggu "kelahiran hujan". "Hening bergeming", tetapi "malam gemetar", tetapi "bumi berhenti". Dan siapakah gerangan orang asing di balik jendela yang "cemas akan kau dan aku"? Kiarostami, seorang pembaca puisi yang brilian, dengan tangkas mengembangkan pelbagai tegangan, ironi, paradoks, repetisi, kesederhanaan, juga gelora dalam puisi pendek itu ke dalam sebuah gambar hidup yang menawan, minimalis, menukik dalam: sebentuk konstruksi prismatis yang bisa menampilkan cahaya dan warna-warni baru di setiap perjumpaan.

Memang, dari kursi di ruangan gelap itu, barangkali kita tak segera menyerap seluruh saranan makna yang bergerak di antara arus citraan yang mengalir tenang, namun berkelok-kelok tak terduga dalam perkisahan. Kadang kala Kiarostami seperti asyik saja bermain-main, mungkin dengan kiasan: sebutir apel yang menggelinding berliuk-liuk mengikuti permukaan lantai yang tak rata, seekor keong yang berjuang menelungkupkan badan, seorang pemuda yang menggali lubang (sumur?) di puncak bukit, seorang lelaki yang setiap kali ponselnya berbunyi selalu menyetir mobilnya ke ketinggian agar mendapat sinyal, … Betapapun, segenap "keisengan" itu berjalan paralel dengan penantian tak menentu si pembuat film dokumenter sehingga tak terasa dipaksakan, tetapi malah merangsang untuk dipikirkan.

Film Kiarostami pada dasarnya adalah sebentuk puisi. Sebuah puisi, dalam medium apa pun, menempatkan pembaca (penonton, pendengar) sebagai penulis (pencipta) juga, yang bisa (mungkin harus) mengolah dan merangkai makna sendiri dari komposisi tanda yang ada di hadapannya. Sambil menikmati, tentu saja.

Sumber: Kompas, Rabu 05 November 2003
Read More......

Marina

DI masa kanak ia pernah tersihir oleh satu lukisan yang terpasang di dinding kamar tidur ibunya: karya entah siapa, tentang sebuah duel yang baru usai. Seorang lelaki, terpuruk di dekat sederet pohon meranggas, dengan luka tembak di perut, hendak dipapah naik ke kereta es oleh dua rekannya; di kejauhan tampak siluet seorang lelaki lain tengah berjalan menjauh ke padang salju yang luas dan senyap.

LELAKI yang terluka itu adalah Alexander Pushkin-penyair termasyhur, "sang juru selamat kesusastraan Rusia", dalam kata-kata tinggi Fyodor Dostoevsky. Pada petang 27 Januari 1837 itu si penyair kalah dalam duel bersenjata dengan seorang bangsawan Perancis yang beberapa kali ia pergoki mencoba merayu Natalya, istrinya.

Pushkin-yang semasa lajang juga terkenal sebagai pemburu lawan jenis, tak jarang istri orang-seakan terkena batu dari masa silamnya sendiri. Sebenarnya ia sudah berkali-kali terlibat dalam duel semacam itu. Namun, meski tak mahir amat memainkan senjata api, entah bagaimana ia selalu luput dari timah garang lawannya. Kali itu tidak. Dua hari kemudian, dalam usia 37, Pushkin melepaskan napas terakhirnya di apartemen tempat tinggalnya di St Petersburg, di tengah lalu lalang kunjungan duka para pengagumnya.

Kelak, bocah yang tersihir memandangi lukisan duel itu, Marina Tsvetaeva, menjadi seorang penyair terkemuka dan ia menulis: "Hal pertama yang kuketahui tentang Pushkin adalah bahwa ia mati terbunuh… dengan sebutir peluru bersarang di perutnya. Pada umur tiga tahun aku tahu dengan kepastian yang mutlak bahwa penyair punya perut dan kini, teringat para penyair yang pernah kujumpai, aku sering prihatin memikirkan perut mereka… sebagaimana aku memikirkan jiwa mereka. … Tembakan itu melukai perut kita semua."

Kisah hidup Marina Tsvetaeva, salah satu penyair terbesar Rusia di abad ke-20, barangkali bisa membuat kata-kata yang dituliskannya itu tak lagi tampak ganjil dan berlebihan. Lahir pada 1892 di tengah sebuah keluarga terpelajar-ayahnya seorang profesor sejarah seni dan ibunya seorang pianis yang telah menikmati aplaus di panggung konser-ia menghabiskan masa kecilnya di sejumlah negeri di Eropa Barat.

Di sepanjang rantau itu ia sempat menyerap tiga bahasa asing: Italia, Perancis, dan Jerman-kelak ia menerjemahkan sejumlah karya sastra dari dan ke dalam bahasa-bahasa tersebut. Pada tahun 1908, ia belajar sejarah sastra di Universitas Sorbonne.

Sastra Rusia di masa itu tengah marak oleh sejumlah gerakan penciptaan yang bergairah. Simbolisme, seperti dalam karya Alexander Blok dan Andrei Bely, tiba dengan gelora imaji yang mendahsyat dan misterius serta sebentuk mistisisme yang hendak mengatasi batas-batas.

Akmeisme, sebagai reaksi terhadap kerumitan dan hiperbola kaum Simbolis, antara lain lewat lirik Osip Mandelstam dan Anna Akhmatova, berusaha mencapai puncak kejernihan dalam ekspresi-ekspresi sederhana, lugas, dan bernas. Sementara Futurisme, terutama melalui suara Vladimir Mayakovsky dan Velimir Khlebnikov, membuang segala yang datang dari masa lampau dan merayakan ingar-bingar waktu kini seraya mengharu biru tertib bahasa.

Tsvetaeva tak berada di lingkaran-lingkaran itu-walaupun belakangan ia cenderung dipandang sebagai semacam jembatan gaib yang menghubungkan mereka semua. Sejak awal ia memang mengagumi Blok, meski tak pernah bertemu dengannya, dan menulis serangkaian sajak panjang untuknya; ia bersahabat dengan Bely, juga dengan Akhmatova, bahkan pernah berpacaran dengan Mandelstam; namun ia (memilih maupun tidak) seakan terus menempuh rute tersendiri, yang sering sulit dan rumit-sesuatu yang tak pernah tampak pada mulanya.

Demikianlah, pada tahun 1910 terbit kumpulan puisi Tsvetaeva yang pertama, Album Malam. Maximilian Voloshin, seorang penyair dan kritikus, sangat terkesan membaca karya itu. Voloshin mengundang Tsvetaeva ke rumah peristirahatannya di Koktebel, dekat Laut Hitam, yang ia jadikan semacam tempat berkumpul para penulis dan seniman. Di tempat itulah ternyata si perempuan penyair bertemu dengan Sergei Efron, seorang kadet dari sekolah perwira, dan jatuh cinta. Mereka menikah pada tahun 1912.

Pasangan itu tinggal di Krimea, dan di sana lahir dua anak mereka, Alya dan Irina. Pada tahun 1917 Efron ditugaskan di Moskwa; Tsvetaeva dan kedua anaknya tinggal. Revolusi Bolshevik meletus. Efron bergabung dengan Tentara Putih pendukung Tsar. Tsvetaeva menyusul ke Moskwa, namun Efron ternyata tak lagi di sana. Tentara Merah Bolshevik telah mengganyang para pendukung Tsar.

Sementara itu, kelaparan merundung dan terus meluas di kota itu. Pada suatu hari di tahun 1919, Tsvetaeva menitipkan Irina, anak bungsunya yang baru berumur dua tahun, ke sebuah panti asuhan milik negara-yakin bahwa si bayi akan mendapat makanan dan perawatan yang lebih baik di sana. Setahun kemudian anak itu meninggal dunia. Tsvetaeva menulis: "Tuhan menghukum aku."

Sekian tahun tak tentu rimbanya, pada tahun 1921 Efron tiba-tiba berkirim kabar: ia masih hidup di Berlin. Mei 1922, Tsvetaeva dan Alya menyusul ke sana. Di kota itu ia sempat menerbitkan beberapa karya yang ditulisnya di Moskwa. Beberapa bulan kemudian mereka bertiga pindah ke Praha dan hidup dari subsidi yang disediakan Pemerintah Ceko bagi para penulis dan seniman yang tinggal di negeri itu. Pada tahun 1925 mereka boyongan lagi ke Paris, kali ini menetap cukup lama: 14 tahun.

Di kota itu ternyata ia tak betah bergaul dengan kaum penulis eksil bekas borjuis asal Rusia. Mereka menganggap Tsvetaeva kurang anti-Soviet dan kritik-kritiknya terhadap rezim komunis dinilai kabur. Apalagi setelah ia menulis sepucuk surat yang menunjukkan kekaguman pada penyair Mayakovsky, yang ketika itu giat mencoba menggabungkan futurisme dengan haluan kiri. Tak ayal lagi, Tsvetaeva kian terkucil di negeri pengasingan itu.

Sementara itu, suaminya mulai merasa ingin pulang ke kampung halaman dan berangsur-angsur menambatkan simpati pada rezim Soviet, bahkan diam-diam bekerja untuk NKVD (cikal bakal KGB). Pada tahun 1937, Efron melarikan diri pulang ke Rusia; kepolisian Perancis menuduhnya terlibat dalam pembunuhan terhadap Ignaty Reyss, seorang pembelot dari Uni Soviet.

Tsvetaeva kembali sendirian, ia pun diasingkan oleh kalangan eksil Rusia di Paris; belum lagi ia harus menghadapi sejumlah interogasi tentang suaminya. Ia memberi jawaban-jawaban yang membingungkan, dan akhirnya malah membacakan terjemahan puisinya dalam bahasa Perancis. Ia dianggap tak waras dan tak tahu apa-apa.

Tahun 1939 ia pun pulang ke Moskwa bersama Georgy, anak lelakinya yang lahir di Paris. Tak lama kemudian terjadi sesuatu yang pahit lagi: Efron dan Alya ditangkap dengan tuduhan bekerja sebagai spion asing. Tunangan Alya ternyata seorang agen NKVD yang ditugaskan memata-matai keluarga itu. Sang ayah ditembak mati pada tahun 1941 dan anak perempuannya dibui lebih dari 8 tahun.

Ketika tentara Nazi Jerman merangsek Uni Soviet pada 1941, Tsvetaeva bersama Georgy akhirnya pergi (mungkin diungsikan) ke Yelabuga, sebuah kota kecil di Republik Tartar di wilayah Asia Tengah. Tanggal 31 Agustus 1941, di usia 49, dalam gelap dan putus asa, Tsvetaeva menggantung diri. Letak kuburannya tak diketahui.

Dalam autobiografinya, Boris Pasternak mengenangkan perkenalannya dengan Tsvetaeva di sebuah pertemuan kaum Futuris dan Simbolis di rumah seorang "penyair amatir" A: "Waktu itu saya tak sadar betapa kelak ia akan menjadi seorang penyair tanpa bandingan. Tetapi… secara naluriah saya segera membedakan ia dari yang lain karena kesahajaannya yang segera menarik perhatian." Mungkin itu pula yang menarik perhatian Rainer Maria Rilke, hingga penyair besar Jerman itu dalam salah satu suratnya di tahun 1926 kepada Tsvetaeva-yang 17 tahun lebih muda darinya-mengaku: "Wahai penyair, sadarkah kau betapa engkau telah mencengkeramku… Aku mulai menulis seperti dirimu…." Adapun Joseph Brodsky, yang di masa mudanya pernah menjadi semacam murid Anna Akhmatova, di kemudian hari mengatakan bahwa Tsvetaeva "berdiri sendirian di tengah kesusastraan Rusia, tanpa pendahulu tanpa penerus", seorang penyair dengan suara yang asing dan bahkan menakutkan bagi telinga Rusia: bahwa dunia sesungguhnya tak bisa diterima.

Dengan puisi-puisi yang merupakan perpaduan antara kejernihan dan gelora, cerlang hidup dan kelam maut, ketangkasan kepala dan kepolosan perut, Tsvetaeva seperti mengingatkan bahwa segenap ekstrem yang bertemu dalam proses penciptaan yang intens akan membangkitkan sebentuk tenaga dahsyat yang sanggup menopang dan mempertahankan dirinya sendiri.

Sebab, pada akhirnya Tsvetaeva menulis ternyata bukan untuk siapa-siapa. "Bukan untuk mereka yang berjuta-juta, bukan juga untuk seseorang, bukan pula untuk diriku". Sebab, "Aku menulis untuk karya itu sendiri. Ia menuliskan dirinya lewat diriku."

Sumber: Kompas, Rabu 07 April 2004
Read More......

Ironi

LEWAT majas, bahasa kiasan, puisi terbiasa menautkan ranah-ranah pengalaman yang sering tampak berjauhan. Di dalamnya kita bisa mengalami sebentang tamasya dunia dengan anasir yang beragam, kadang saling berlawanan, namun bersahut-sahutan; kita menghadapi keserbamungkinan.

AMIR Hamzah, kita tahu, gemar memerikan kerinduan dan rasa penasaran akan Tuhan dalam kata-kata yang seakan bergerak dan bergetar ke arah lain: Engkau pelik menarik ingin/ Serupa dara di balik tirai; atau, Engkau cemburu/ Engkau ganas/ Mangsa aku dalam cakarmu/ Bertukar tangkap dengan lepas. Walt Whitman mendaftar dan merayakan manusia, debu, lembu, rumput, tikus, lokomotif, kapal, kamera, dewa, bintang, dan sebagainya, sebagai para anggota yang lemah tetapi juga kuat di alam semesta. Omar Khayyam kerap melukiskan kefanaan dan kerentanan hidup dalam rangkaian citra yang intim seperti anggur, cawan, lampu, pena, papan catur, dan taman karavan yang marak di tengah maha kelam yang luas dan dalam.

Majas membuat orang sadar bahwa ia hidup sebagai tubuh dan jiwa, nama dan makna, di sebuah jagat yang nyata sekaligus niskala, yang unsur-unsurnya saling berhubungan.

Hubungan-hubungan yang lebih sering laten: karena itulah puisi mampu mengejutkan kita dari waktu ke waktu, dengan menemukan atau membangun jembatan kiasan yang memperjodohkan satu dan lain hal yang semula tak tampak punya kaitan. Maka, ketika kita sudah lama kehilangan rasa takjub terhadap kiasan mati semacam "matahari", "bulan sabit", "ibu jari", "jari manis", "tahilalat", "cinta monyet", … kita pun kemudian bertemu dengan, sebutlah, "baju bulan" (Joko Pinurbo), "bulan limau retak" (Rendra), "desir hari lari berenang" (Chairil Anwar), "hari terus rontok dari pohon abadi" (Subagio Sastrowardoyo).

Dalam puisi (juga sastra pada umumnya) kita memang bertemu dengan rangkaian kiasan, tetapi sesungguhnya kita bergerak di sebidang lapangan bernama ironi. Di sanalah kita bisa belajar tentang jarak antara kata dan dunia. Pelbagai hal tak terduga bisa terjadi: kearifan bertopeng kebodohan, atau sebaliknya, tata yang muncul dari gebalau, dan seterusnya. Sebuah karya barangkali bergerak seperti Sokrates yang senantiasa tampil sebagai sosok yang tak tahu dan senantiasa mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada lawan bicaranya (si pembaca) agar terus mencari dan mengolah pengertian yang lebih dalam tentang diri dan dunia yang dialaminya.

Memahami ironi berarti menangkap apa yang dikatakan dan tak dikatakan. Mengutarakan ironi berarti merengkuh posisi-posisi yang berlawanan sekaligus secara bersamaan. Mengatakan Z sambil memaksudkan N, atau N sekaligus Z, mengawinkan keduanya, seraya mengambil jarak dari masing-masing. Mengutarakan ironi berarti tidak menyampaikan sesuatu secara langsung melainkan menciptakan sebuah versi, sebuah rentang, sebuah ruang. Ini membutuhkan dan membangkitkan imajinasi. Peran pembaca dalam memetik dan memasak makna tentu menjadi niscaya. Dan, bisa saja, proses itu melewati rute-rute yang tampak jauh dari apa yang biasa disebut akal waras. Ia bisa tampak bersungguh-sungguh sekaligus bermain-main. Ia bisa tampak khusyuk sekaligus kurang ajar.

Ironi dan dusta sama-sama mengatakan kebalikan, atau sesuatu yang lain, dari ungkapan yang berterus terang. Bahwa sesuatu yang dinyatakan, yang harfiah, bukanlah yang sebenarnya. Tetapi ada perbedaan mendasar. Dusta menjadi efektif jika pihak lain tidak tahu apa yang sebenarnya. Ironi justru menjadi efektif jika pihak lain mafhum apa yang sebenarnya (dimaksudkan): sesuatu yang berada di ruang lain, bahkan mungkin terus bergerak ke ruang-ruang lain, seluas cakrawala masing-masing orang. Pembacaan (dan pembacaan adalah juga penulisan, yakni pembubuhan tafsir oleh pembaca) dengan demikian menjadi proses yang berjalan tak henti-hentinya.

Di sini kita bisa melihat bahwa karya sastra, atau seni pada umumnya, sesungguhnya bukanlah bekerja dengan dusta (seperti sering dikatakan tentangnya) melainkan bermain dengan ironi dalam arti yang luas. Sebab pada dasarnya pihak pencipta maupun penikmat sama-sama sadar akan "sesuatu yang lain" yang juga disaran dalam ungkapan demi ungkapan. Sebab itu apa yang disebut kejujuran dalam karya sastra bisa datang dengan seribu satu wajah: ekspresi-ekspresi bahasa yang mengajak orang menatap dunia dengan lebih tajam, lebih intens, dan menghadirkan pemandangan-pemandangan baru yang lebih hidup. Yang harfiah, apa boleh buat, hanyalah salah satu pilihan-dan jangan-jangan pilihan yang menjemukan-dalam pengutaraan makna.

Sumber: Kompas, Rabu, 7 Juli 2004
Read More......

Es

DI antara pelbagai keajaiban dalam kitab Edda-yang disusun oleh penyair dan sejarawan Snorri Sturluson pada awal abad ke-13 itu-adalah sepotong percakapan di sebuah meja perjamuan.



AEGIR, sang raksasa samudera, bertanya, "Bagaimanakah gerangan kerajinan yang engkau sebut syair itu bermula?"

Bragi, sang dewa syair, menjawab, "Syahdan, para dewata bertikai dengan bangsa Vanir, tetapi kemudian mereka mengadakan suatu pertemuan dan akhirnya sepakat berdamai dengan cara ini: wakil masing-masing pihak berdiri di depan sebuah tong minuman dan meludahkan liur ke dalamnya."

Setelah mereka berpisah, para dewa memutuskan hendak mengabadikan lambang perdamaian itu, tak ingin membiarkannya mubazir, dan dari tumpahan lendir itu mereka menciptakan seorang manusia: Kvasir. Ia seorang arif tanpa tara. Tak ada satu pun soal yang ia tak tahu jawabnya. Ia hidup berkelana mengarungi dunia, mengajarkan ilmu kepada orang-orang. Suatu malam ia dijamu di rumah sepasang orang kerdil, Fialar dan Galar. Di tengah cengkerama tiba-tiba si tuan rumah mengeluarkan sepucuk senjata dan membunuh tamu termasyhur itu. Mereka menuangkan darah korban ke dalam tong, mencampurnya dengan madu, dan memeramnya dengan ragi hingga menjadi minuman keras yang sakti. Barangsiapa meneguknya akan jadi penyair atau cerdik-cendekia.

Sebuah alegori yang padat, padu, menyeramkan. Barangkali juga agak berlebihan. Edda mengandung banyak bagian yang memerikan dengan ringan pelbagai kekejian, kebuasan, pertumpahan darah, dan pembunuhan, seakan itu semua sejenis permainan sehari-hari.

Namun, tentu Edda bukanlah hanya untaian kisah-kisah petualangan para satria dan raksasa serta dewa-dewa Nordik yang mendahsyatkan. Ia juga sebuah traktat tentang puisi. Bagian kedua (yakni bagian tengah), dari mana dialog Ægir dan Bragi di atas dipetik, bertajuk "Skaldskaparmal": bahasa syair. Di situ pelbagai metafora dideret dan dibahas, seakan dalam sebuah kamus sinonim yang ganjil, didahului dengan pertanyaan: Bagaimana menyebut laut? Bagaimana menyebut manusia? Bagaimana menyebut Matahari? Dan seterusnya. Maka berbarislah pelbagai majas standar (kenning) yang kadang terasa begitu asing dan mengherankan: cakram keraguan, mainan (Matahari); lautan, kapal si kerdil (puisi); angsa merah (gagak); api kali (emas); hutan (perempuan); …

Memang kegiatan mendaftar demikian bisa hanya pelan-pelan mengantarkan setiap kiasan menjadi klise, ekspresi menjadi formula-sepasang stigma yang pasti mati-matian dijauhi oleh setiap penyair yang mengagumi tanda tangannya sendiri. Tetapi penyair di zaman itu barangkali menikmati ilusi yang lebih indah: tak peduli dengan kebaruan, tak terjangkiti anxiety of influence, dan bersyair semata untuk merayakan tradisi serta berasyik-masyuk dengan puaknya.

Betapa pun, pada awal milenium kedua itu, ketika para trubadur di sejumlah negeri Mediterania pergi mengelana menyanyikan sajak-sajak cinta, di Eslandia-yang ketika itu dikenal sebagai negeri para pujangga di Skandinavia-syair-syair mitologis para skald (penyair) memang mulai tergeser oleh bentuk prosa yang baru muncul: saga. Itulah epik yang mengisahkan keberanian dan perjuangan para pahlawan dan penguasa di kawasan Skandinavia, sering dalam bahasa yang gamblang dan berhumor dingin, tetapi kadang juga mengumbar takhayul dan fantasi liar. Tersisihnya syair para skald itu agaknya yang menggerakkan tangan Snorri Sturluson untuk merekam khazanah lisan tersebut dan merumuskan semacam puitikanya dalam "Skaldskaparmal".

Eslandia: tanah es dan api, yang di Zaman Gelap Eropa pernah dibayangkan sebagai letak Neraka. Pada abad pertama sebelum Masehi, Virgil menyebutnya Ultima Thule, nusa di balik cakrawala, di mana kartografi berhenti dan imajinasi dimulai. Dua puluh abad kemudian, saat memulai perjalanannya ke Eslandia di tahun 1936, WH Auden pun memandang negeri itu sebagai sebentang kawasan mimpi dan misteri. Sebuah pulau besar yang tampak sendirian dan sepi, dengan lanskap yang kadang menyerupai hamparan lahan di bulan, dengan padang-padang lahar dingin, tundra yang senyap, perbukitan es yang kasar, tebing fyord yang curam, geiser yang muncrat, aurora borealis yang menari, telaga mendidih, serta kepundan yang mengepul dan menggelegak.

Dalam sebuah catatan perjalanannya, novelis Pico Iyer mengisahkan sebuah tradisi kuno yang masih berlangsung di Eslandia hingga kini: setiap tahun ada satu malam khusus ketika para wakil rakyat di parlemen harus berbicara dalam rima. Rakyat di negeri itu menggunakan bahasa yang belum banyak berubah sejak abad pertengahan; konon mereka dapat dengan mudah membaca kitab-kitab antik leluhur mereka layaknya membaca koran hari ini.

Dari sebuah negeri tropis yang permai, panas, ganas, galau, gamang, ramah, ruwet, rileks, semua itu mungkin terasa seperti fragmen mimpi yang karib sekaligus jauh dan muskil. Seperti dongeng dari masa kecil: tampak percuma, tetapi toh hidup, dan telah menggoda pikiran untuk mengembarai kemungkinan-kemungkinan.

Sumber: Kompas, Rabu 07 Januari 2004
Read More......