Senin, 15 September 2008

Derau

TENANG dan bersahaja (dan sedikit gila barangkali) tampaknya: seseorang duduk atau berdiri atau rebahan sambil lekat menatapi deretan dan barisan huruf yang tercetak pada permukaan kertas-kertas yang terjilid, membaliknya lembar demi lembar, mungkin sesekali manggut-manggut, atau agak terkantuk-kantuk terkena semilir.

KECUALI dilakukan di panggung atau studio atau mimbar, di depan mikrofon atau sekerumun penonton, membaca-sebagaimana halnya menulis-memang sering dibayangkan sebagai kegiatan perseorangan yang soliter dan senyap. Seorang pembaca mungkin tengah menjelajahi sebuah dunia yang meriah atau dahsyat atau muram atau mengerikan dalam teks yang diselaminya, tetapi tindakan membaca itu sendiri biasa terlihat sebagai tindakan menyepikan diri dari ingar-bingar dunia luar. Seakan si pembaca sedang melakukan semacam meditasi, menjernihkan diri, menghalau pelbagai distraksi. Tetapi itulah sebentuk tipuan mata.

Sebab, tak bisa tidak, pertemuan pembaca dengan teks berlangsung dalam (dan sebagai) sebuah lalu lintas yang sudah sibuk sejak mula. Tanda-tanda, kata-kata dan sebagainya, yang tertera dan tersusun sebagai sebuah komposisi itu, adalah hal-ihwal yang bagaimanapun memiliki umur, dan dengan itu riwayat, yang bahkan hampir selalu lebih tua ketimbang penulis maupun pembacanya. Komposisi itu sendiri niscaya punya riwayat: sejak masih berupa niat hingga menjelma rangkaian tersurat, yang kemudian mungkin beredar dari orang ke orang dari waktu ke waktu. Si pembaca juga tentu sudah melintasi sekian pengalaman, membawa sekian memori dalam otak dan sekujur tubuhnya. Lagi pula, selain mengangkut segala bawaan dari masa lalu, masing-masing peserta itu pun lalu terkait bersama ke sejumlah aturan (dan) permainan yang (kalaupun sering dilanggar) memungkinkan tergelarnya sebuah dunia dari sana.

Dengan begitu setiap pembacaan teks adalah sebuah peristiwa yang ramai juga, sebetulnya. Ada banyak anasir yang bekerja bersamaan, masing- masing mungkin saling menerpa, dan tak selalu pas atau selaras, menjadi sehimpun kesibukan yang tak kurang seru ketimbang hiruk-pikuk sebuah pasar pagi. Sebuah proses yang “bising”, penuh derau.


Jika sebuah teks kita ikuti sejak kelahirannya hingga mencapai tangan pembaca, ia memang bisa terlihat sebagai sebentuk informasi yang senantiasa beriring dengan derau: setiap distorsi, sendatan, simpangan, silapan, yang “mengganggu” perjalanan pesan-jika pesan di sini tidak kita baca sebagai “moral”. Sebutlah: pilihan kata yang tak tepat, tata bahasa yang gawal, tanda baca yang meleset, kantuk penulis, salah ketik, salah cetak, tinta yang tak rata atau agak belobor, peralihan format file yang merusak sejumlah tanda baca, pening pembaca, jarak ruang dan waktu antara penulisan dan pembacaan, dan seterusnya. Belum lagi derau yang datang dari dunia luar, sebagai rupa maupun suara-suara: siaran televisi, kendaraan lewat, kicau burung, batuk, palu menghantami paku, daun-daun luruh…. Mungkin juga ada endapan ingatan yang terusik kembali, bayangan-bayangan yang timbul-tenggelam, rasa nyeri di pinggang atau di ulu hati.


Dalam karya sastra, apalagi puisi, derau itu hadir secara lebih rumit, halus, canggih, tersamar, tak terduga. Sebab, bahasa di situ tak melulu bekerja sebagai instrumen penyampai maksud, melainkan bisa juga bermain atau bergerak mengikuti impuls-impuls yang tak selalu terjelaskan. Kadang sebuah citraan begitu kuat dan memukau, hingga tak penting lagi apakah itu masuk akal atau tidak: “MALAM LEBARAN/ Bulan di atas kuburan” (Sitor Situmorang). Tak jarang sepatah bunyi ikut membentuk runtunan kata berikutnya, dan meluncurlah asonansi: “Luka dan bisa kubawa berlari/ Berlari/ Hingga hilang pedih peri” (Chairil Anwar); “Seperti kau basuh aku/ Dalam desah asap saunamu” (Goenawan Mohamad). Dan seterusnya. Dalam wanti-wanti Ludwig Wittgenstein, “Jangan lupakan bahwa puisi, meski digubah dalam bahasa informasi, tidaklah berada dalam permainan-bahasa untuk memberi informasi.” Atau tidak selalu.

Maka segenap majas, bunyi, jeda sunyi, yang berkelindan menjadikan puisi sebuah medan ambiguitas yang membuat pembacaan sering tak mudah, meski bisa tetap mengasyikkan. Memang, kecenderungan mula-mula seorang pembaca adalah mencari arti yang dianggap terkandung di dalam kata-kata yang tersusun sebagai komposisi. Tetapi arti barangkali tak ditemukan “di dalam” rentetan tanda bunyi itu, melainkan dalam ruang persentuhan antara teks dan benak pembaca-sebuah persentuhan yang tak hanya melibatkan akal, tetapi juga indra dan barangkali naluri. Di situlah terhampar kancah pemaknaan yang bisa terus meluas, berubah, berkembang, setiap kali.


Namun, kenapa derau itu mesti ada di sana, merintangi jalannya sebuah pesan? Michel Serres, filsuf sains asal Prancis itu, memberi jawaban menarik: permainan ambiguitas dalam fluktuasi derau dan kerangka pandangan subyek pengamat yang tak tetap mampu membangkitkan kapasitas informasi dan derau untuk “mengubah tanda-tanda” sehingga kekacauan bergerak menuju tata yang lebih tinggi. Itulah “kekacauan relatif” puisi, yang senantiasa mencari celah-celah “keajaiban, kebetulan, kekecualian”. Puisi adalah jalan membuka diri ke arah yang tak terduga-termasuk hubungan-hubungan yang tak terduga.

Tentu, jika derau menjadi terlalu besar dan kasar, sebuah puisi bisa juga (ya: cenderung) jatuh semrawut tanpa ampun.


Sumber: Kompas, Jumat 04 April 2003

2 komentar:

Anonim mengatakan...

waah...dapet ilmu tentang pemaknaan dalam puisi. terima kasih . salam kenal.

Unknown mengatakan...

Bukan derau atau sunyi sesungguhnya dalam penggubahan puisi, tetapi "kemauan", kata Ludwig Klages.