Senin, 15 September 2008

Derau

TENANG dan bersahaja (dan sedikit gila barangkali) tampaknya: seseorang duduk atau berdiri atau rebahan sambil lekat menatapi deretan dan barisan huruf yang tercetak pada permukaan kertas-kertas yang terjilid, membaliknya lembar demi lembar, mungkin sesekali manggut-manggut, atau agak terkantuk-kantuk terkena semilir.

KECUALI dilakukan di panggung atau studio atau mimbar, di depan mikrofon atau sekerumun penonton, membaca-sebagaimana halnya menulis-memang sering dibayangkan sebagai kegiatan perseorangan yang soliter dan senyap. Seorang pembaca mungkin tengah menjelajahi sebuah dunia yang meriah atau dahsyat atau muram atau mengerikan dalam teks yang diselaminya, tetapi tindakan membaca itu sendiri biasa terlihat sebagai tindakan menyepikan diri dari ingar-bingar dunia luar. Seakan si pembaca sedang melakukan semacam meditasi, menjernihkan diri, menghalau pelbagai distraksi. Tetapi itulah sebentuk tipuan mata.

Sebab, tak bisa tidak, pertemuan pembaca dengan teks berlangsung dalam (dan sebagai) sebuah lalu lintas yang sudah sibuk sejak mula. Tanda-tanda, kata-kata dan sebagainya, yang tertera dan tersusun sebagai sebuah komposisi itu, adalah hal-ihwal yang bagaimanapun memiliki umur, dan dengan itu riwayat, yang bahkan hampir selalu lebih tua ketimbang penulis maupun pembacanya. Komposisi itu sendiri niscaya punya riwayat: sejak masih berupa niat hingga menjelma rangkaian tersurat, yang kemudian mungkin beredar dari orang ke orang dari waktu ke waktu. Si pembaca juga tentu sudah melintasi sekian pengalaman, membawa sekian memori dalam otak dan sekujur tubuhnya. Lagi pula, selain mengangkut segala bawaan dari masa lalu, masing-masing peserta itu pun lalu terkait bersama ke sejumlah aturan (dan) permainan yang (kalaupun sering dilanggar) memungkinkan tergelarnya sebuah dunia dari sana.

Dengan begitu setiap pembacaan teks adalah sebuah peristiwa yang ramai juga, sebetulnya. Ada banyak anasir yang bekerja bersamaan, masing- masing mungkin saling menerpa, dan tak selalu pas atau selaras, menjadi sehimpun kesibukan yang tak kurang seru ketimbang hiruk-pikuk sebuah pasar pagi. Sebuah proses yang “bising”, penuh derau.


Jika sebuah teks kita ikuti sejak kelahirannya hingga mencapai tangan pembaca, ia memang bisa terlihat sebagai sebentuk informasi yang senantiasa beriring dengan derau: setiap distorsi, sendatan, simpangan, silapan, yang “mengganggu” perjalanan pesan-jika pesan di sini tidak kita baca sebagai “moral”. Sebutlah: pilihan kata yang tak tepat, tata bahasa yang gawal, tanda baca yang meleset, kantuk penulis, salah ketik, salah cetak, tinta yang tak rata atau agak belobor, peralihan format file yang merusak sejumlah tanda baca, pening pembaca, jarak ruang dan waktu antara penulisan dan pembacaan, dan seterusnya. Belum lagi derau yang datang dari dunia luar, sebagai rupa maupun suara-suara: siaran televisi, kendaraan lewat, kicau burung, batuk, palu menghantami paku, daun-daun luruh…. Mungkin juga ada endapan ingatan yang terusik kembali, bayangan-bayangan yang timbul-tenggelam, rasa nyeri di pinggang atau di ulu hati.


Dalam karya sastra, apalagi puisi, derau itu hadir secara lebih rumit, halus, canggih, tersamar, tak terduga. Sebab, bahasa di situ tak melulu bekerja sebagai instrumen penyampai maksud, melainkan bisa juga bermain atau bergerak mengikuti impuls-impuls yang tak selalu terjelaskan. Kadang sebuah citraan begitu kuat dan memukau, hingga tak penting lagi apakah itu masuk akal atau tidak: “MALAM LEBARAN/ Bulan di atas kuburan” (Sitor Situmorang). Tak jarang sepatah bunyi ikut membentuk runtunan kata berikutnya, dan meluncurlah asonansi: “Luka dan bisa kubawa berlari/ Berlari/ Hingga hilang pedih peri” (Chairil Anwar); “Seperti kau basuh aku/ Dalam desah asap saunamu” (Goenawan Mohamad). Dan seterusnya. Dalam wanti-wanti Ludwig Wittgenstein, “Jangan lupakan bahwa puisi, meski digubah dalam bahasa informasi, tidaklah berada dalam permainan-bahasa untuk memberi informasi.” Atau tidak selalu.

Maka segenap majas, bunyi, jeda sunyi, yang berkelindan menjadikan puisi sebuah medan ambiguitas yang membuat pembacaan sering tak mudah, meski bisa tetap mengasyikkan. Memang, kecenderungan mula-mula seorang pembaca adalah mencari arti yang dianggap terkandung di dalam kata-kata yang tersusun sebagai komposisi. Tetapi arti barangkali tak ditemukan “di dalam” rentetan tanda bunyi itu, melainkan dalam ruang persentuhan antara teks dan benak pembaca-sebuah persentuhan yang tak hanya melibatkan akal, tetapi juga indra dan barangkali naluri. Di situlah terhampar kancah pemaknaan yang bisa terus meluas, berubah, berkembang, setiap kali.


Namun, kenapa derau itu mesti ada di sana, merintangi jalannya sebuah pesan? Michel Serres, filsuf sains asal Prancis itu, memberi jawaban menarik: permainan ambiguitas dalam fluktuasi derau dan kerangka pandangan subyek pengamat yang tak tetap mampu membangkitkan kapasitas informasi dan derau untuk “mengubah tanda-tanda” sehingga kekacauan bergerak menuju tata yang lebih tinggi. Itulah “kekacauan relatif” puisi, yang senantiasa mencari celah-celah “keajaiban, kebetulan, kekecualian”. Puisi adalah jalan membuka diri ke arah yang tak terduga-termasuk hubungan-hubungan yang tak terduga.

Tentu, jika derau menjadi terlalu besar dan kasar, sebuah puisi bisa juga (ya: cenderung) jatuh semrawut tanpa ampun.


Sumber: Kompas, Jumat 04 April 2003

Read More......

Jumat, 12 September 2008

Mirabai

IA terlahir sebagai putri tunggal sebuah keluarga bangsawan Rajput di wilayah Rajasthan, India Utara, di sekitar peralihan abad ke-15 dan 16. Di masa kanak ia pernah mendapat hadiah dari seorang guru kelana sebuah patung kecil Sri Krishna, yang sejak itu konon tak pernah lepas dari sisinya. Di kemudian hari ia termasyhur sebagai penyair pengembara yang merayakan ekstase dan pemujaan kepada Sang Kekasih yang tak tepermanai cintanya.

Riwayat Mirabai adalah kisah seorang manusia yang terseret adat dan sejarah, tetapi kemudian menghanyutkan (dan melepaskan) diri ke arus yang lebih murni dan tersembunyi: perayaan cinta spiritual. Mahatma Gandhi pernah menyebut Mirabai sebagai simbol seorang perempuan yang memilih jalannya sendiri, meninggalkan hidup mewah, dan dengan cara damai menemukan pembebasan.

Syahdan, ketika beranjak dewasa, ia dinikahkan dengan Pangeran Bhoja Raj, anak penguasa kerajaan Mewar yang berpusat di Chittor. Mirabai hidup di istana yang tak membahagiakannya. Di sana ia mesti menyembah Durga, dewi pujaan keluarga sang mertua. Ia menolak, dan melanjutkan pemujaan kepada Sri Krishna titisan Vishnu, menari dan menyanyikan persembahannya bersama para bhakta, pemuja yang berasal dari pelbagai kasta. Tiga tahun setelah pernikahan, suaminya meninggalkan dunia tanpa meninggalkan seorang anak. Mirabai, yang dalam sebuah mimpinya pernah mendapati dirinya berada di pelaminan bersama Sri Krishna, menolak melakukan sati (melompat membakar diri ke dalam kobaran api kremasi suaminya). Ia hendak mengabdikan seluruh hidupnya kepada Sri Krishna.

Tetapi di masa itu pula tengah terjadi guncangan hebat di negeri Rajasthan. Pasukan Mughal menyerbu dari Afghanistan. Berkecamuklah perang. Mirabai kehilangan ayah dan mertuanya—mereka gugur di medan pertempuran. Takhta Mewar kosong. Dengan segera seorang penguasa baru ditabalkan: seorang bocah yang duduk di singgasana di bawah bayang-bayang ibunya. Mirabai semakin tak kerasan tinggal di istana, dan kian sering memberontak dan melanggar aturan istana. Ada cerita bahwa beberapa kali kalangan tinggi kerajaan berusaha membunuhnya, antara lain dengan mencampurkan racun ke dalam minumannya. Ia meneguk minuman beracun itu, dan ternyata tak mati. Akhirnya ia pun pergi mengembara hingga penghujung hayatnya.

Puisi Mirabai, yang aslinya digubah dan dinyanyikan dalam bahasa Gujarati, sepenuhnya merayakan luapan rasa cinta, pemujaan dan pengabdian (bhakti) kepada Sri Krishna, yang kerap ia panggil "Giridhara" (sang pemegang/pengangkat gunung) dengan wajah "berwarna senja". Berbeda dengan tradisi puisi Sanskerta klasik yang rumit dan sarat aturan persajakan, tradisi puisi bhakti—yang berada di "zaman pertengahan" dalam khazanah sastra India—lazim ditulis dalam ungkapan-ungkapan yang tampak sederhana dan biasa. Sebab ia hadir dan menjadi nyanyi puja orang kebanyakan juga.

Namun, sebagaimana misalnya puisi mistis kaum Sufi, sajak-sajak Mirabai kerap menyimpan kelembutan maupun gejolak ekspresi yang mengejutkan di antara larik-larik yang menjalinkan citraan erotis dengan saranan murni rohani. Demikianlah, sejumlah penyair modern, seperti Robert Bly dan Adrienne Rich, pun terpesona dan tergerak menerjemahkan lirik Mirabai ke dalam bahasa Inggris. Tak heran, sebab mereka telah bertemu dengan larik-larik seperti ini: Hari ini, biarkan mendung meremah/ Tuannya Mira kembali di rumah/ Bahkan kabut terlembut merasuki tong-tong kering/ Perjalanan panjang, dan kini pertemuanku dengan cinta/ Takut sirna, raib sirna, tuarang sirna/ Ia telah kembali/ …/ Kawanan ternak pun datang minum dari air bah ini.

Sumber: Minggu, 27 Agustus 2006
Read More......

Bilhana

Kashmir, sebentang dataran tinggi yang cantik namun rawan di perbatasan India dan Pakistan, memiliki hamparan perpuisian yang panjang dan bertabur bintang. Setidaknya sejak Bhartrimentha di abad ke-5 Masehi menggubah epik Hayagrivavadha (yang telah hilang dan hanya terserak sebagai kutipan-kutipan di sejumlah teks dari masa kemudian), perayaan kisah besar dalam sajak terus berjalan dari zaman ke zaman. Di abad ke-6 Bhatta Bhanmaka menulis Ravanarjuniya yang melukiskan ulang adegan laga dalam kisah Ramayana. Ratnakara, Sivasvamin, Mankha, dan Ksemendra adalah sejumlah nama lain yang telah menyumbangkan larik-larik mereka ke dalam kesusastraan Kashmir berbahasa Sanskerta.

Sedangkan Bilhana, yang hidup di sekitar abad ke-11 di Kashmir, menunjukkan kecenderungan lain dalam khazanah itu. Ia seorang penyair sekaligus sejarawan. Tetapi memang ia bukan satu-satunya. Kalhana, seorang sejarawan penulis hikayat Rajatarangini (Sungai Raja-raja) yang terkemuka, yang kurang-lebih sezaman dengannya, pun menulis syair. (Ada sedikit catatan menarik dari para pengamat luar tentang ini: perihal catatan sejarah, ada perbedaan besar dalam tradisi India dan Kashmir. Detail historis dalam pelbagai hikayat klasik India kerap kabur, peristiwa sejarah berbaur atau sepenuhnya menjadi legenda. Perkisahan sejarah dalam khazanah Kashmir rupanya menunjukkan hal sebaliknya, penuh rincian yang cukup akurat mengenai waktu, tempat, dan nama-nama.)

Syahdan, Bilhana, putra seorang sarjana Sanskerta ternama Jyasthakalasa, pergi meninggalkan kampung halamannya setelah menyerap ajaran Veda, tata bahasa, dan sastra. Ia mengembara dari negeri ke negeri, hingga kemudian tertambat di istana Raja Vikramaditya VI, keturunan wangsa Chalukya yang kekuasaannya berpusat di Kalyana. Di sana ia menulis Vikramankadeva Charitha, sebuah hikayat tentang Raja Vikramanka dan leluhurnya, para pemuka dinasti Chalukya dan keturunannya. Digubah dalam 18 bagian, teks itu ditutup dengan kisah turun-temurun keluarga sang pujangga dan kilasan riwayat raja-raja Kashmir.


Namun, warisan yang lebih menarik dari Bilhana adalah seberkas naskah bertajuk Saurisuratapanchasika (50 Sajak Pencuri Cinta). Kumpulan sajak itu juga dikenal sebagai Chaurapanchasika, Bilhana Panchasika, atau Sasikalapanchasika. Ada sejumlah versi tentang para tokoh dalam teks itu. Salah satu versi menyebut bahwa tokoh lelaki bernama Chaura, seorang brahmana di istana Raja Sundava di Kanchipur, yang mendapat tugas mengajar Vidya (atau Sasikala) sang putri raja. Demi mencegah kemungkinan terjalinnya percintaan antara mereka, raja memberi tahu sang putri bahwa gurunya adalah seorang penderita kusta sedangkan kepada sang guru dikatakan bahwa putrinya buta. Mereka dibatasi oleh sehelai kain. Tipuan itu percuma, dan keduanya lambat laun saling jatuh cinta. Raja memergoki mereka pada suatu hari, dan ia pun menjebloskan sang guru cendekia itu ke penjara. Di sanalah, sambil menanti hukuman mati, ia menggubah dan menyanyikan sajak-sajak cintanya itu. Sebuah versi lain menyatakan bahwa sang protagonis-penyair itu tak lain adalah Bilhana sendiri, dan sang putri bernama Champavati.


Dengan kata/frase pembuka yang selalu seragam—adyaapi (“bahkan/hingga kini")—sajak-sajak itu menggambarkan kerinduan sang penyair yang merasa berada di akhir hidupnya, namun tak sanggup melepaskan kenangan cintanya, seakan yang ia ingat adalah “sebuah kearifan yang hilang". Ia merasa dirinya sarat oleh bayangan “semu emas wajah sang putri, liuk asap gelombang rambutnya, kaki gemetar oleh cinta." Si penyair tahu, esok hari mungkin ia akan naik ke panggung pancungan dan mati, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang terus menolak berhenti.

Sumber: Minggu, 30 Juli 2006

Read More......

Bhartrihari

Puisi lirik dari khazanah sastra Sanskerta seakan tersembunyi. Epik Ramayana gubahan Valmiki dan Mahabharata susunan Vyasa adalah sepasang karya tinggi besar dengan bayang-bayang demikian panjang, sehingga orang bisa lupa bahwa telah mengalun dan merebak juga banyak nyanyian di sekitar bayang-bayang itu. Kalidasa, adikavi (pujangga besar) yang konon hidup berkelana di sekitar peralihan abad ke-4 dan 5 Masehi, pun lebih dikenal dengan lakon-lakonnya, seperti Malavikagnimitra dan Shakuntala, meski ia juga menulis (selain sejumlah sajak epik) dua buah lirik abadi: Meghaduta (Awan Pembawa Pesan) dan Ritusamhara (Lukisan Musim). Kata “epik" dan “lirik" di sini tentu hanya bersifat menghampiri, dan karena itu perlu dibayangkan berada di antara dua tanda petik.


Satu soal lagi: riwayat para pujangga itu sesungguhnya tak selalu jelas—tak hanya menyangkut detail peristiwa yang terjadi, tapi juga kapan persisnya mereka hidup. Baiklah, mungkin biografi penyair memang seperti “biografi burung", sebagaimana kata Joseph Brodsky: tak penting benar. Sebab, yang lebih penting niscayalah nyanyinya, bukan riwayatnya. Tetapi legenda telah mengambil alih, dan sedikit cerita tak akan melukai puisi.
Alkisah, Bhartrihari, penguasa wilayah Ujjain, Madya Pradesh, India, pada abad ke-5 atau 6 Masehi, adalah seorang raja yang patah hati. Sang permaisuri yang ia cintai ia pergoki menaruh hati pada seorang lelaki lain. Celakanya, lelaki yang dicintai sang permaisuri ternyata telah jatuh cinta pada seorang pelacur jelita. Dalam legenda ini, cinta dikiaskan sebagai sebutir buah segar. Dan, seakan sebuah lingkaran sempurna, si pelacur jelita itu justru mempersembahkan “buah segar" itu kepada sang raja.


Bhartrihari lalu memutuskan pergi dari istana dan bertapa di hutan. Di sana ia melahirkan Shatakatrayam (Tiga Ratus/"Abad" Sajak), sebuah trilogi yang terdiri atas Nitishataka (Seratus Sajak Kearifan Duniawi), Sringarashataka (Seratus Sajak Asmara), dan Vairagyashataka (Seratus Sajak Pelepasan Raga). Dalam ungkapan pendek yang bernas, tajam, kadang sarat ironi, Bhartrihari memerikan tiga sisi hidup yang pernah dilaluinya: sebagai raja, kekasih, pertapa. Kelak, sajak-sajak lirik (muktaka) Bhartrihari itu dikenang sebagai salah satu capaian tertinggi lirik dalam bahasa Sanskerta.


Tengoklah, misalnya, bait ini: Intan di mata pahat sang jauhari/ Satria terluka pada lengannya/ Gajah terhuyung oleh birahi/ Tebing kali kering oleh tuarang/ Bulan sabit selewat purnama/ Gadis lungkrah oleh permainan cinta/ Dan saudagar yang menderma seluruh hartanya/ Semua meruapkan pesona dalam silamnya. Sebuah paduan citraan keras dan lembut, alam dan manusia, yang dijajarkan sebagai paralel yang sekaligus mengandung kontras antara kedahsyatan dan kefanaan hidup. Digubah belasan abad lampau, bait itu menyimpan kewajaran sekaligus keganjilan: lompatan dan kepadatan imaji yang nyaris modern.


Dan Bhartrihari tak hanya menulis sajak. Vakyapadiya, sebuah traktat filsafat bahasa yang ia tulis, adalah sebuah rujukan yang termasyhur dalam tradisi filsafat India. Bhartrihari mengemukakan konsep “Sabda-Brahman", yang ia tegaskan pada kalimat pembuka risalahnya itu: “Kenyataan tertinggi (Brahman) pada hakikatnya berwatak sabda. Tanpa awal dan tanpa akhir. Demikianlah ia merupakan prinsip tertinggi. Prinsip tetap dan kekal ini mewujudkan diri sebagai aneka macam benda dan proses di alam semesta (jagata prakriya)." Dan, dengan suara yang seakan datang dari pikiran zaman kini, ia membubuhkan komentar atas aforisme itu: “Seluruh gejala di dunia, meski tampak berbeda satu sama lain, memiliki watak dasar sebagai kata. Sebab prinsip kata (sabda) bekerja di baliknya. Kita mengenal dunia melalui kata, dan seluruh pikiran kita terjalan dalam kata-kata. Segala hal-ihwal sejak awal, ada, hingga akhirnya hanya dapat ditentukan melalui kata-kata."

Sumber: Kompas, Minggu 16 Juli 2006


Read More......

Mandelstam

PENYAIR mati meninggalkan puisi. Tetapi akhir hayat Osip Mandelstam adalah juga semacam puisi, yang niscaya tak pernah diduga atau diangankan oleh si penyair sendiri: muram, berat, berlarat-larat. Ia mengawali kepenyairannya dengan sajak-sajak pendek yang merdu dan berwarna-warni, rangkaian imaji dari seorang pemuda yang terpesona oleh kisah-kisah dan perjalanan jauh: Romawi, Byzantium, Mesir, Yunani…. Ia mati di usia 47, setelah sakit-sakitan dan setengah gila, dalam pembuangan di kamp Gulag Siberia, dan dimakamkan di sebuah kuburan massal. Sajak-sajaknya tak ikut mati, dan meneruskan perjalanan jauh ke pelbagai penjuru dunia.

Lahir di tengah sebuah keluarga Yahudi diaspora di Warsawa, Polandia, pada tahun 1891, Osip Emilievich Mandelstam tumbuh mula-mula di Pavlovsk dan kemudian St Petersburg, Rusia. Pada usia 16 ia merantau ke Paris dan belajar sastra di Universitas Sorbonne. Setahun kemudian ia pindah ke Jerman dan mengikuti kuliah filsafat di Universitas Heidelberg. Ini pun hanya bertahan setahun, hingga 1910. Ia lalu kembali ke Rusia, dan selama 6 tahun berikutnya menekuni sejarah dan filologi di Universitas St Petersburg. Ia tak pernah mendapat gelar atau ijazah.

Di Paris, Mandelstam berkenalan dengan karya-karya kaum simbolis dan mulai menulis sajaknya sendiri, yang ia siarkan di sebuah jurnal bernama Apollon. Sekembalinya di St Petersburg ia bergabung dengan Nikolai Gumiliev dan Anna Akhmatova dalam "Gilda Penyair". Mereka, lewat gerakan akmeisme (akme, diambil dari bahasa Yunani, berarti "puncak"), menyuarakan pentingnya bahasa yang jernih dan sederhana dalam puisi. Puisi bukanlah pameran sengkarut imaji atau sulapan bunyi, melainkan rangkaian sari bening kata yang disuling dari dunia sehari-hari—demikian kira-kira seruan mereka.


Baru pada tahun 1913 terbit kumpulan sajaknya yang pertama, Batu. Dalam kumpulan itu tampaklah Mandelstam sebagai seorang penyair yang baru bergerak dari rasa terpesona akan gelora simbolisme menuju puncak ketenangan akmeisme. Ada kerapian dan kejernihan di sana, tetapi larik-lariknya yang merdu kerap sarat mengandung bayangan makna yang berkelebatan. Puisinya sering penuh alusi dari pelbagai zaman dan negeri. Homeros, Safo, Ovid, Virgil, Dante, Villon, hingga Pushkin dan Lermontov—mereka hadir dalam selubung, dalam topeng bernama Mandelstam. Di kemudian hari ia merumuskan akmeisme sebagai "sebuah nostalgia akan belantara budaya dunia".


Kumpulan sajaknya yang kedua, Tristia (1922), lebih jelas menunjukkan kecenderungan eklektik Mandelstam yang berpadu dengan semangat melakukan percobaan. Dalam metrum heksameter yang lazim dalam puisi Rusia, ia mencoba memasukkan pola-pola rima yang tak lazim. Di kali lain ia mencoba menggunakan sajak bebas, sambil terus menguji berapa banyak imaji dapat dipadatkan dalam larik-larik puisi. Di antara karya-karya kaum akmeis, agaknya memang puisi Mandelstam yang memiliki tekstur paling kompleks: sensibilitas klasik yang bertemu dengan gejolak eksperimental, di tengah latar yang tak menentu.


Memang ada unsur tak menentu di latar penciptaan itu. Dan dalam riwayat Mandelstam, ketakmenentuan itu datang dari politik represif yang menguasai negerinya di masa itu. Nikolai Gumiliev mati di depan regu tembak pada tahun 1921. Antara tahun 1926 hingga 1930 Mandelstam berdiam diri, sama sekali tak menulis puisi. Oleh sejumlah klik penulis radikal ia dituduh sebagai "orang pelarian di dalam negeri". Persekusi terus berlanjut hingga ia bersama istrinya, Nadezhda Yakovlevna, mesti mengungsi selama 8 bulan di Armenia.
Sepulang dari Armenia, Mandelstam mulai menggubah puisi lagi. Kini ia menulis dalam larik-larik ringkas, lugas, bernas, seperti epigram. Sebuah sajaknya, bertitimangsa November 1933 dan belakangan dikenal sebagai "Epigram Stalin", yang ia bacakan di hadapan sejumlah temannya (dan satu orang penyadap, ternyata), membuat ia ditangkap pada tanggal 13 Mei 1934—yang pertama di antara serangkaian penangkapan dan penyiksaan yang mengharu biru hidupnya hingga akhir. Dengan citraan yang nyaris sureal, sajak itu menggambarkan "orang gunung di Kremlin" dengan "sepasang kecoa ketawa di atas bibirnya" dan "jemari sepuluh ulat gemuk", dikitari oleh "tuan-tuan berleher ayam". Ia menyimpan perintah bagai mengulum buah beri di lidahnya. Di tengah kegilaan demikian, tulis Mandelstam, Hidup kita tak terasa lagi memijak bumi.

Sumber: Kompas Minggu, 02 Juli 2006
Read More......