Kamis, 11 September 2008

Tidur

DI saat jaga, manusia berada di satu dunia bersama; ketika tidur, setiap orang memasuki dunianya yang paling pribadi (Heraklitus dari Efesus, 5 abad sebelum Masehi). Barangkali puisi adalah semacam tidur. Sebuah khazanah yang intim, rutin yang misterius, inisiasi singkat tentang yang tak terduga dan yang tak terhingga.
Manakala seseorang memejamkan mata, larut, dan menyerahkan sebagian atau seluruh kesadaran dirinya kepada sebentang gelap yang tak terukur, meski mungkin hanya sebentar, sesungguhnya ia tengah menjalin suatu hubungan yang istimewa dengan dunia. Ia tak sedang (mencoba) mengendalikan apa pun, termasuk dirinya. Ia, untuk sementara, sepenuhnya "membiarkan" hal-ihwal di sekitar berlangsung tanpa prasangka dan campur tangannya.
Tentu hal ini bisa juga dilihat sebagai hanya soal istirahat sejenak, sebab setelah itu toh ia kembali menjadi subyek yang menjalankan sebentuk kuasa (setidaknya melalui perangkat kognitif maupun motorik) terhadap dunia yang melingkunginya. Dan dunia tak membaik hanya karena manusia bangun tidur. Memang. Tetapi dunia juga tak akan membaik hanya karena manusia tak pernah tidur demi bekerja tanpa henti mengolah dunia.

Sebab, bukankah manusia bekerja, beribadah, bercinta, dan berpikir dengan tubuhnya juga, mengaktifkan organ yang satu dan lainnya? Dan pasti tiba saat ia menjadi lelah, mungkin sembari berbahagia, mungkin tidak. Dan ia akan terkantuk dan terlelap-kecuali ia seorang pengidap insomnia. Seorang insomniak adalah seorang yang berhasrat, tapi tak dapat menenggelamkan diri ke dalam lautan pribadi yang asing itu. Tanpa atau dengan obat penenang, masing-masing orang terjun ke sana untuk menyelam setiap malam (atau sore, siang, pagi), sebagian hanya mengapung-apung di permukaannya.

Dalam tidur, orang tak jarang menyaksikan hal-hal yang paling muskil, mencekam, gila, indah, jenaka, mengerikan. Dalam tidur, orang mungkin tak melihat apa pun di dinding kelopak matanya: hanya kosong yang entah namun sementara. Dalam tidur, orang bisa berjalan dan membuka pintu dan melakukan hal-hal yang tak akan dikerjakannya di kala jaga. Dalam tidur, bangkitlah "yang lain", yang berdiam dan bekerja diam-diam dalam diri kita. Terang sudah, tidur bukanlah semata-mata istirah.

Jika mimpi, bunga yang mekar dari pohon tidur itu, adalah subversi atas tata dunia sadar sehari-hari, maka tidur adalah penjungkiran posisi sang ego yang cenderung meyakini diri sebagai pusat pemaknaan dan penjelajahan dunia tersebut. Sebab, di sana sosok sang aku sering tak bisa lagi menentukan bahkan geraknya sendiri, apalagi hal-ihwal yang dihadapinya. Malahan sosok itu sendiri bisa menjadi tak jelas, tak tentu, semacam narator hantu yang setiap saat mungkin berganti-ganti letak dan rupa tanpa menghendakinya sendiri.

Luruhnya keutuhan, hilangnya ketetapan, dan lepasnya kendali pusat diri di alam antah-berantah itulah juga barangkali yang telah mengilhami sejumlah asosiasi negatif maupun enigmatik atas laku tidur. Salah satunya adalah kiasan tidur sebagai taklid, tindakan mengikuti para pendahulu tanpa sikap bertanya-tanya. Schopenhauer merasa terbangun dari "tidur dogmatik" yang bertahun-tahun setelah membaca Kant; Kierkegaard mengingatkan agar jangan sampai kita terbangun hanya pada saat maut tiba menjemput. (Tetapi jangan lupa: Schopenhauer juga menulis tentang sebuah mimpi besar yang diimpikan oleh sang Pemimpi Agung, di mana semua tokoh dalam impian-Nya pun mengimpikan segala hal-ihwal; sedangkan Kierkegaard memberi perhatian khusus pada ketidakpastian, rasa takut dan gentar ketika seseorang mengambil pilihan dalam hidup)

Sementara itu, tentu ada kias yang lebih tua: kematian. Di antara bait-bait "Ars Poetica" Jorge Luis Borges, kita akan bertemu dengan larik-larik ini: …betapa maut/ yang menakutkan sekujur tubuh kita adalah maut/ yang datang setiap malam dan bernama tidur. Borges menggunakan majas yang begitu bersahaja karena baginya puisi pada akhirnya adalah "baka dan bersahaja". Puisi selalu kembali sebagaimana fajar dan senja kala. Menyaksikan tidur pada apa yang disebut maut, dan melihat pada senja kala selapis emas yang sedih, itulah, baginya, puisi.

Adapun John Keats, dalam "Sleep and Poetry", sebuah sajak dari tahun 1816, lima tahun menjelang kematiannya, seolah-olah bertanya: Adakah yang lebih khidmat dari semerbak mawar-kesturi mengembang/ di pulau hijau, jauh dari mata memandang?/ Lebih segar dari rindang lembahan?/ Lebih rahasia dari tempat bulbul bersarang?/ Lebih tenang dari wajah Cordelia?/ Lebih berilham dari romansa?/ What but thee, Sleep? Soft closer of our eyes/ Low murmurer of tender lullabies. Ia lalu membandingkan tidur dengan sayap angsa, dara, elang, petir yang menyambar, derau bumi, dan tak menemukan majas yang memuaskan. Dengan kata lain, ia mendapatinya sebagai sebuah enigma yang tak teruraikan.

Heraklitus barangkali tidak seratus persen tepat. Sebab di saat jaga, orang pun hidup di dunia sadarnya sendiri-sendiri, selain berada di satu dunia bersama. Tetapi dalam tidur (yang sebentar maupun yang baka) memang tergelar semacam dunia yang hanya mungkin dimasuki orang-seorang, dan tetap merupakan teka-teki yang kekal, dari mana mungkin datang suara-suara, rupa-rupa, yang bukan biasa, yang bisa memarakkan dan mendalamkan kehidupan.
Barangkali tidur adalah semacam puisi.

Sumber: Kompas, Rabu, 04 Februari 2004

Tidak ada komentar: