Jumat, 12 September 2008

Surealisme

SEJAK romantisisme di abad ke-18, setidaknya, sastra kerap menempatkan diri di luar atau berlawanan dari ”yang umum”. Ekspresi baru, segar, spontan, bahkan ganjil atau ”gila”, menjadi cita-cita penciptaan yang senantiasa hendak mendobrak kebekuan rutin sehari-hari. Karya yang baik adalah karya yang mampu menerbangkan (atau bila perlu menendang) kita keluar dari kotak tempat segala kebiasaan, prasangka, waham, dan kemalasan kita bersemayam. Penciptaan adalah subversi atas kejumudan, atas status quo.


Demikianlah sastra modern sering tampak sebagai pemberontakan. Dan sejak abad ke-20, pemberontakan itu tak jarang benar-benar gemuruh dan gempar sebab dijalankan bersama-sama oleh sejumlah seniman, dengan menerbitkan manifesto, majalah, surat terbuka, atau menggelar demonstrasi. Surealisme (surrealisme, ”super-realisme”, yang ”melampaui kenyataan” menurut si pencipta istilah, Guillaume Apollinaire), yang muncul di Perancis pada awal 1920-an, adalah sebuah suara berontak yang diteriakkan oleh sekawanan sastrawan (dan kemudian juga seniman rupa) untuk mengguncang dunia borjuis Eropa yang mereka anggap sudah mapan, mandek, dan mengidap penyakit puas diri.

Para perintis gerakan itu, dengan André Breton sebagai pemukanya, menyerukan pembebasan potensi-potensi terpendam dalam diri manusia yang telah terkekang oleh nalar dan kebiasaan. Memetik ilham dari psikoanalisis Freud, kaum surealis mencoba menggali khazanah terpendam itu di alam bawah sadar, melalui ”penulisan otomatis”: suatu cara penulisan yang membiarkan pelbagai imaji dari bawah sadar muncul bebas tanpa kendali nalar dan tata bahasa. Dengan cara ini mereka mencari pertemuan-pertemuan tak terduga antarkata yang membentuk kiasan baru yang segar dan mencengangkan. (Breton meminjam teori imaji Pierre Reverdy, penyair Perancis yang kerap disebut ”saudara tua kaum surealis” itu: ”semakin jauh dan jitu hubungan antara dua ranah kenyataan yang dijajarkan, semakin kuatlah imaji itu”).

Imaji-imaji surealis yang ganjil—contoh: ”hantu mawar berembun” (Breton), ”bumi biru jeruk” (Paul Éluard), ”anggur kabut musim panas” (Louis Aragon)—adalah rangkaian provokasi literer yang bergerak di antara kebetulan (le hasard) yang berserakan dalam keseharian dan mimpi abadi akan dunia atau semesta yang satu dan saling terhubungkan. Dan itu bukan tanpa preseden: kaum surealis menemukan pendahulu mereka dalam sosok Comte de Lautréamont, yang mengatakan tentang ”indahnya pertemuan kebetulan, di atas meja bedah, antara mesin jahit dan payung”, dan Arthur Rimbaud, yang memilih judul seperti ”Perahu Mabuk” atau ”Gurun Cinta” untuk karyanya. Bagi kaum surealis, puisi adalah bentuk ekspresi paling utama sebab ia menyediakan ruang luas untuk lepas dari kerangka waktu (narasi) dan ruang (deskripsi), untuk bergerak bebas ke palung tak terhingga bawah sadar.

Surealisme acap dikaitkan dengan sebuah gerakan yang muncul di Zurich pada tahun 1916: Dada. Gerakan yang dipelopori antara lain oleh penyair asal Rumania Tristan Tzara ini memang mendahului surealisme dalam menantang kemapanan borjuasi Eropa masa itu, dan di Paris mereka mendapat sambutan baik dari Breton dan kawan-kawan. Tetapi ada sejumlah perbedaan mendasar. Dada (artinya ”kuda mainan” dalam bahasa kanak-kanak Perancis), melalui sikap mengejek dan gila-gilaan, sepenuhnya merayakan nonsens dan segala yang berlawanan dengan rasionalitas, dan mengubur semua harapan. Sementara surealisme, dengan tekad revolusioner, dan sikap sungguh-sungguh sekaligus main-main, hendak menerobos batas-batas semu ciptaan rasio dan konvensi, menuju perubahan kesadaran manusia dan dunia. Sebuah cita-cita yang mulia, tapi alangkah sulitnya. Tapi apa salahnya….

Sumber: Kompas, Minggu 05 Maret 2006

Tidak ada komentar: