Jumat, 12 September 2008

Bilhana

Kashmir, sebentang dataran tinggi yang cantik namun rawan di perbatasan India dan Pakistan, memiliki hamparan perpuisian yang panjang dan bertabur bintang. Setidaknya sejak Bhartrimentha di abad ke-5 Masehi menggubah epik Hayagrivavadha (yang telah hilang dan hanya terserak sebagai kutipan-kutipan di sejumlah teks dari masa kemudian), perayaan kisah besar dalam sajak terus berjalan dari zaman ke zaman. Di abad ke-6 Bhatta Bhanmaka menulis Ravanarjuniya yang melukiskan ulang adegan laga dalam kisah Ramayana. Ratnakara, Sivasvamin, Mankha, dan Ksemendra adalah sejumlah nama lain yang telah menyumbangkan larik-larik mereka ke dalam kesusastraan Kashmir berbahasa Sanskerta.

Sedangkan Bilhana, yang hidup di sekitar abad ke-11 di Kashmir, menunjukkan kecenderungan lain dalam khazanah itu. Ia seorang penyair sekaligus sejarawan. Tetapi memang ia bukan satu-satunya. Kalhana, seorang sejarawan penulis hikayat Rajatarangini (Sungai Raja-raja) yang terkemuka, yang kurang-lebih sezaman dengannya, pun menulis syair. (Ada sedikit catatan menarik dari para pengamat luar tentang ini: perihal catatan sejarah, ada perbedaan besar dalam tradisi India dan Kashmir. Detail historis dalam pelbagai hikayat klasik India kerap kabur, peristiwa sejarah berbaur atau sepenuhnya menjadi legenda. Perkisahan sejarah dalam khazanah Kashmir rupanya menunjukkan hal sebaliknya, penuh rincian yang cukup akurat mengenai waktu, tempat, dan nama-nama.)

Syahdan, Bilhana, putra seorang sarjana Sanskerta ternama Jyasthakalasa, pergi meninggalkan kampung halamannya setelah menyerap ajaran Veda, tata bahasa, dan sastra. Ia mengembara dari negeri ke negeri, hingga kemudian tertambat di istana Raja Vikramaditya VI, keturunan wangsa Chalukya yang kekuasaannya berpusat di Kalyana. Di sana ia menulis Vikramankadeva Charitha, sebuah hikayat tentang Raja Vikramanka dan leluhurnya, para pemuka dinasti Chalukya dan keturunannya. Digubah dalam 18 bagian, teks itu ditutup dengan kisah turun-temurun keluarga sang pujangga dan kilasan riwayat raja-raja Kashmir.


Namun, warisan yang lebih menarik dari Bilhana adalah seberkas naskah bertajuk Saurisuratapanchasika (50 Sajak Pencuri Cinta). Kumpulan sajak itu juga dikenal sebagai Chaurapanchasika, Bilhana Panchasika, atau Sasikalapanchasika. Ada sejumlah versi tentang para tokoh dalam teks itu. Salah satu versi menyebut bahwa tokoh lelaki bernama Chaura, seorang brahmana di istana Raja Sundava di Kanchipur, yang mendapat tugas mengajar Vidya (atau Sasikala) sang putri raja. Demi mencegah kemungkinan terjalinnya percintaan antara mereka, raja memberi tahu sang putri bahwa gurunya adalah seorang penderita kusta sedangkan kepada sang guru dikatakan bahwa putrinya buta. Mereka dibatasi oleh sehelai kain. Tipuan itu percuma, dan keduanya lambat laun saling jatuh cinta. Raja memergoki mereka pada suatu hari, dan ia pun menjebloskan sang guru cendekia itu ke penjara. Di sanalah, sambil menanti hukuman mati, ia menggubah dan menyanyikan sajak-sajak cintanya itu. Sebuah versi lain menyatakan bahwa sang protagonis-penyair itu tak lain adalah Bilhana sendiri, dan sang putri bernama Champavati.


Dengan kata/frase pembuka yang selalu seragam—adyaapi (“bahkan/hingga kini")—sajak-sajak itu menggambarkan kerinduan sang penyair yang merasa berada di akhir hidupnya, namun tak sanggup melepaskan kenangan cintanya, seakan yang ia ingat adalah “sebuah kearifan yang hilang". Ia merasa dirinya sarat oleh bayangan “semu emas wajah sang putri, liuk asap gelombang rambutnya, kaki gemetar oleh cinta." Si penyair tahu, esok hari mungkin ia akan naik ke panggung pancungan dan mati, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang terus menolak berhenti.

Sumber: Minggu, 30 Juli 2006

Tidak ada komentar: