Jumat, 12 September 2008

Akhmatova

Anna Andreevna Gorenko lahir di Odessa, Ukraina, tahun 1889. Tak lama kemudian orangtuanya pindah ke sebuah wilayah bernama Tsarskoe Selo (Kampung Tsar), tempat berlibur keluarga kerajaan di pinggiran kota St Petersburg. Di sana ia tumbuh menjadi seorang gadis manis yang pendiam, dan suka menulis puisi diam-diam. Pada suatu hari, di usia 17, ia berniat menyiarkan karyanya di sebuah majalah yang terbit di St Petersburg. Ayahnya mendengar kabar itu, memanggilnya, dan seraya menegaskan bahwa ia tak melarang anaknya menulis puisi, meminta Anna agar tak menggunakan nama keluarganya yang terhormat.



Si gadis patuh saja, dan memilih nama leluhur dari pihak ibunya yang memiliki darah Tartar. Leluhur itu adalah Akhmat Khan, salah satu turunan Jengis Khan. Sejak itulah ia menggunakan nama Anna Akhmatova, termasuk dalam setiap dokumen yang mesti ditandatanganinya. Sejak itulah pula nama Anna Akhmatova memasuki khazanah puisi Rusia.

Joseph Brodsky, ketika menceritakan kejadian itu dalam sebuah esainya, berkomentar bahwa permintaan ayah Anna Gorenko sebenarnya berlebihan. Di lingkungan aristokrat Rusia masa itu memang beredar pandangan angkuh bahwa profesi sastra tidak pantas bagi kalangan mereka, dan lebih cocok untuk kaum yang lebih rendah dalam usaha mengabadikan nama. Namun, kata Brodsky, Gorenko toh bukan nama keluarga pangeran. Barangkali bermukim di tempat peristirahatan keluarga Tsar telah membuat tinggi hati ayah si calon penyair yang kelak menjadi salah satu sosok terbesar dalam kesusastraan Rusia modern itu.

Setelah belajar hukum di Kiev, Ukraina, selama dua tahun sejak 1908, Akhmatova kembali ke St Petersburg dan mempelajari sastra Rusia. Pada musim semi tahun 1910 ia menikah dengan penyair Nikolai Gumiliev, dan berbulan madu di lingkungan bohemian di Paris. Sepulang dari sana, pada tahun 1911, mereka mendirikan Tsekh Poetov (Gilda Penyair), yang sekaligus menandai hadirnya sebuah gerakan sastra baru: akmeisme. Penggunaan kata “gilda" juga memperlihatkan sikap baru kepenyairan yang mengutamakan olah keterampilan ketimbang mengandalkan ilham dari antah berantah.

Akmeisme menyerukan suatu puitika yang hendak menghayati hidup sehari-hari dengan sederhana: puisi adalah cermin bening pengalaman batin, yang menjaga keseimbangan bentuk dan ekspresi langsung lewat imaji (bukan saranan tak langsung melalui simbol), yang menerima ide sejauh itu memperkuat efek emosional dan bukan untuk mendukung sikap ideologis. Suara demikian memang merupakan perlawanan terhadap gerakan simbolisme, dengan segenap gelora imaji dan semangat mistisnya, yang merupakan arus dominan dalam kesusastraan Rusia sejak akhir abad ke-19. Selain itu akmeisme hendak membebaskan diri dari cekaman ideologi yang mulai membayang pada gerakan futurisme Rusia waktu itu.

Puisi lirik Akhmatova pada dasarnya adalah suara lirih yang intens dan jernih, sering dalam bentuk dan metrum yang tertib, tentang dunia sehari-hari: tentang cinta yang raib, makam seorang teman lama, asin air mata, liuk asap tembakau biru kelabu, peta kusam, selai murbei, sarung tangan…. Tetapi rupanya pengalaman hidup membuat ia tak selalu bisa bersuara demikian. Petang (1912), kumpulan pertamanya yang berisi sajak-sajak cinta, dan kumpulan kedua, Rosario (1914), yang memasukkan citraan religius, memperlihatkan Akhmatova sebagai seorang lirikus yang cemerlang. Kumpulan ketiga, Kawanan Putih (1917), mulai banyak menyinggung soal perang dan akibatnya atas nasib manusia. Adapun Anno Domini MCMXXI (1921), yang antara lain mengangkat ihwal hukuman mati atas Nikolai Gumiliev dan pelbagai teror oleh negara kala itu, membuatnya menjadi penyair yang dibungkam hingga 20-an tahun kemudian. Ketika anaknya, Lev, ditahan dan dibuang ke Siberia pada tahun 1949, Akhmatova bahkan terpaksa menulis sejumlah sajak pujian untuk Stalin demi pembebasan anaknya itu.

Dalam rangkaian sajak Rekuiem (1935-40), yang ia gubah di tengah suasana tegang dan muram di bawah Stalin, ia menulis: Air matamu yang hangat melubangi/ Lantai dingin es tahun baru./ Pohon poplar penjara itu terus membungkuk,/ Tak terdengar suara—namun betapa banyak nyawa/ Tak berdosa tengah menghampiri mautnya.

Sumber: Kompas, Minggu 18 Juni 2006

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Uraian yang deskriptif. Sebaiknya diubah frasa "antah berantah" dengan frasa "entah ber-entah" karena dalam KBBI "antah" bermakna "gabah padi" atau "orang yang tak berguna"/"sesuatu yang kurang baik". Nah, kalau "entah berentah" bermakna "anu".